SKETSA
BUDAYA INDONESIA
(
Sebuah Fenomena dan Upaya untuk Kembali )
Oleh : Sukahar Ahmad Syafi’i
( Juara I dalam Lomba Essay tingkat Mahasiswa dalam Rangka Milad UAD 53 )
Anthony
Giddens (1990) menyebut globalisasi sebagai intensifikasi hubungan sosial di
segenap penjuru dunia yang menghubungkan wilayah-wilayah yang saling berjauhan
dengan cara tertentu sehingga apa yang terjadi pada tingkat lokal dipengaruhi
oleh kejadian-kejadian yang berlangsung di tempat lain (yang mungkin bermil-mil
jaraknya), serta sebaliknya. Tentu saja kita dapat menilai pemaknaan Giddens di
atas sebagai penyederhanaan terhadap fenomena globalisasi yang sesungguhnya
luar biasa kompleks, penuh ketidakmestian, dan keragaman. Meski demikian,
pemahaman Giddens dapat membantu kita untuk menggambarkan apa yang sebenarnya
terjadi, dan hal itu mempermudah upaya untuk mencermati persoalan. (Anthony
Giddens, 25)
Sekitar
empat dasawarsa terakhir, istilah globalisasi menjadi kecenderungan yang banyak
dibicarakan oleh masyarakat dunia. Terutama bagi masyarakat dunia ketiga atau
masyarakat negara miskin. Kata globalisasi banyak dibicarakan karena dianggap
sebagai arus yang akan mengeksploitasi
seluruh sumber lingkungan dan budaya dibanding dengan sebaliknya yakni
membangunnya (Michael Tirta, 48). Hal ini dapat dipahami mengingat posisi
globalisasi dianggap sebagai arus komunikasi dan informasi yang mengalir begitu
derasnya dari satu tempat ke tempat yang lain sehingga dapat dikatakan tidak
ada garis batas atau pagar pemisah antara bangsa/negara yang satu dengan negara yang lain.
Dunia yang berisi bangsa-bangsa dan negara-negara
menjadi satu yang bulat, global, yang berarti seantero dunia. Oleh karena itu,
hal-hal yang sifatnya informatif sangat mudah kita dapatkan, dan bagi kita
sendiri juga sangat mudah untuk berkomunikasi dengan bangsa lain.
Kenyataannya,
dengan tiada batas itu, arus globalisasi dari negara lain sangat mudah memasuki
kawasan negara kita, daripada sebaliknya. Di dalam sistem globalisasi, dunia
kita kelihatan menjadi satu, tetapi kenyataannya setiap bangsa atau negara tidak bisa saling
memberi atau menerima informasi. Tampaknya, negara maju lebih dominan dalam
memberikan informasi ke negara berkembang daripada sebaliknya.
Dalam
sejarah perkembangannya, bangsa Indonesia pernah menciptakan puncak-puncak
kreasi dan karya yang sampai sekarang masih dikagumi. Kreasi dan karya budaya
tersebut merupakan hasil akal, budi, dan
pikiran manusia sebagai makhluk paling sempurna yang tak ternilai harganya
(Sutiyono, 39). Bangsa Indonesia adalah sebuah bangsa dengan masyarakatnya yang
pluralistik mempunyai berbagai macam, bentuk, dan variasi dari kesenian budaya.
Kemajuan sebuah bangsa ditentukan oleh peradaban budayanya. Seiring
perkembangan zaman dan globalisasi, semakin banyak kebudayaan asing yang masuk
ke Indonesia. Generasi muda bangsa kita semakin lupa akan budaya bangsanya
sendiri, mereka seakan-akan tertelan arus globalisasi yang lebih mengandalkan
teknologi dan melupakan akar budayanya. Kebudayaan asli seakan-akan hampir
punah karena tidak dilestarikan dan semakin tertelan arus perubahan jaman.
Secara general holistika, perubahan
budaya yang terjadi di dalam masyarakat tradisional, yakni perubahan dari
masyarakat tertutup menjadi masyarakat yang lebih terbuka, dari nilai-nilai
yang bersifat homogen menuju pluralism. Nilai dan norma sosial merupakan
salah satu dampak dari adanya globalisasi. Ilmu pengetahuan dan teknologi telah
mengubah dunia secara mendasar. Komunikasi dan sarana transportasi
internasional telah menghilangkan batas-batas budaya setiap bangsa.
Kebudayaan setiap bangsa cenderung mengarah
kepada globalisasi dan menjadi peradaban dunia sehingga melibatkan manusia
secara menyeluruh (Supardi, 67). Misalnya saja khusus dalam bidang hiburan
massa atau hiburan yang bersifat masal, makna globalisasi itu sudah sedemikian
terasa. Sekarang ini setiap hari kita bisa menyimak tayangan film di tv yang
bermuara dari negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang, Korea, dll
melalui stasiun televisi di tanah air. Belum lagi siaran tv internasional yang
bisa ditangkap melalui parabola yang kini makin banyak dimiliki masyarakat
Indonesia. Sementara itu, kesenian-kesenian populer lain yang tersaji melalui
kaset, vcd, dan dvd yang berasal dari manca negara pun makin marak kehadirannya
di tengah-tengah kita. Fakta yang demikian memberikan bukti tentang betapa
negara-negara penguasa teknologi mutakhir telah berhasil memegang kendali dalam
globalisasi budaya khususnya di negara ke tiga.
Peristiwa transkultural seperti itu mau
tidak mau akan berpengaruh terhadap keberadaan kesenian kita. Padahal kesenian
tradisional kita merupakan bagian dari khazanah kebudayaan nasional yang perlu
dijaga kelestariannya. Di saat yang lain dengan teknologi informasi yang
semakin canggih seperti saat ini, kita disuguhi oleh banyak alternatif tawaran
hiburan dan informasi yang lebih beragam, yang mungkin lebih menarik jika
dibandingkan dengan kesenian tradisional kita. Dengan parabola masyarakat bisa
menyaksikan berbagai tayangan hiburan yang bersifat mendunia yang berasal dari
berbagai belahan bumi. Kondisi yang demikian mau tidak mau membuat semakin
tersisihnya kesenian tradisional Indonesia dari kehidupan masyarakat Indonesia
yang sarat akan pemaknaan dan nilai luhur dalam tubuh masyarakat Indonesia.
Misalnya saja bentuk-bentuk ekspresi kesenian etnis Indonesia, baik bernuansa rakyat
maupun istana, selalu berkaitan erat dengan perilaku ritual masyarakat
pertanian. Dengan datangnya perubahan sosial yang hadir sebagai akibat proses
industrialisasi dan sistem ekonomi pasar, dan globalisasi informasi, maka
kesenian kita pun mulai bergeser ke arah kesenian yang berdimensi komersial
(Kuntowijoyo, 55).
Kesenian-kesenian yang bersifat ritual mulai
tersingkir dan kehilangan fungsinya. Sekalipun demikian, bukan berarti semua
kesenian tradisional kita lenyap begitu saja. Ada berbagai kesenian yang masih
menunjukkan eksistensinya, bahkan secara kreatif terus berkembang tanpa harus
tertindas proses modernisasi. Pesatnya laju teknologi informasi atau teknologi
komunikasi telah menjadi sarana difusi budaya yang ampuh, sekaligus juga alternatif
pilihan hiburan yang lebih beragam bagi masyarakat luas. Akibatnya masyarakat
tidak tertarik lagi menikmati berbagai seni pertunjukan tradisional yang
sebelumnya akrab dengan kehidupan mereka. Misalnya saja kesenian tradisional
wayang orang Bharata, yang biasaya show di Gedung Wayang Orang Bharata Jakarta
kini tampak sepi seolah-olah tak ada pengunjungnya. Hal ini sangat disayangkan
mengingat wayang merupakan salah satu bentuk kesenian tradisional Indonesia
yang sarat dan kaya akan pesan-pesan moral, dan merupakan salah satu agen
penanaman nilai-nilai moral yang baik, menurut saya. Contoh lainnya adalah
kesenian Ludruk yang sampai pada tahun 1980-an masih berjaya di Jawa Timur
sekarang ini tengah mengalami “mati suri”. Wayang orang dan ludruk merupakan
contoh kecil dari mulai terdepaknya kesenian tradisional akibat globalisasi.
Bisa jadi fenomena demikian tidak hanya dialami
oleh kesenian Jawa tradisional, melainkan juga dalam berbagai ekspresi kesenian
tradisional di berbagai tempat di Indonesia. Sekalipun demikian bukan berarti
semua kesenian tradisional mati begitu saja dengan merebaknya globalisasi. Di
sisi lain, ada beberapa seni pertunjukan yang tetap eksis tetapi telah
mengalami perubahan fungsi. Ada pula kesenian yang mampu beradaptasi dan
mentransformasikan diri dengan teknologi komunikasi yang telah menyatu dengan
kehidupan masyarakat, misalnya saja kesenian tradisional “Ketoprak” yang
dipopulerkan ke layar kaca oleh kelompok Srimulat. Kenyataan di atas menunjukkan kesenian
ketoprak sesungguhnya memiliki penggemar tersendiri, terutama ketoprak yang
disajikan dalam bentuk siaran televisi, bukan ketoprak panggung. Dari segi
bentuk pementasan atau penyajian, ketoprak termasuk kesenian tradisional yang
telah terbukti mampu beradaptasi dengan perubahan zaman.
Oleh
karenanya, agar kebudayaan tanah air ini tidak hilang tergilas zaman
globalisasi yang semakin canggih dan modern ini, tentu kebudayaan kita harus
memiliki daya saing yang minimal sama dengan tekhnologi canggih yang marak di
era globalisasi ini. Salah satunya adalah mengemas tayangan kebudayaan dalam
bentuk digital, baik selalu update di layar televisi atau internet. Juga
mempromosikannya dalam bentuk kepingan CD atau DVD. Yang lebih penting dari
hanya sekedar usaha untuk mempertahankan budaya Indonesia dari terpaan era
globalisasi ini adalah penanaman spirit peduli dan cinta pada kebudayaan tanah
air ini wajib dilakukan, jika perlu konsep penanaman sikap cinta pada budaya
tanah air ini masuk pada kurikulum-kurikulum pembelajaran di sekolah-sekolah.
Baik itu ditingkat TK, SD, SMP maupun SMA agar para generasi muda bangsa
benar-benar memiliki sikap cinta pada kebudayaan tanah air. Penanaman ini perlu
dimulai sedini mungkin agar spirit dan jiwa cinta terhadap budaya tanah air
benar-benar tertanam dibenak mereka. Yogyakarta misalnya -sejak UNESCO
menetapkan batik sebagai warisan budaya- telah menetapkan tanggal 2 oktober
sebagai hari batik, sehingga seluruh PNS dan pelajar di Yogyakarta pada tanggal
itu wajib memakai batik. Ini adalah contoh kecil penanaman cinta pada budaya
tanah air.
Kenapa
perlu adanya kurikulum khusus yang mengajarkan -bukan sekedar memperkenalkan-
kebudayaan dikalangan anak-anak ?. Menurut hemat penulis, di era globalisasi
ini anak-anak sudah tidak mengenal –apalagi melakukannya- lagi permainan-permainan
yang bernuansa budaya tanah air, seperti congklak, gobak sodor, gasing, egrang,
dan petak umpet, -mereka-para anak-anak Indonesia- sekarang sudah disibukkan
dengan permainan-permainan yang bernuansa kapitalis, seperti sega, play station,
gimbot, dindong, game online dan lain sebagainya. Jika dari hal yang kecil saja
sudah seperti ini, bagaimana mereka bisa cinta dengan budaya tanah air yang
berskala besar?
Hal
yang serupa juga bisa dilakukan di lingkungan kampus/universitas. Sebut saja Badan
Eksekutif Mahasiswa (BEM) yang bersinggungan secara langsung terhadap program
ekstrakurikuler mahasiswa membuat semacam UKM yang fokus pada kreatifitas
budaya, seperti UKM tari, angklung, lagu-lagu kesenian, sastra budaya dan lain
sebagainya. Penulis rasa upaya tersebut bisa membantu untuk menumbuhkan rasa
memiliki dan cinta pada budaya lokal kita yang beranekaragam.
Menurut
penulis, penampilan seni musik perkusi di jalanan-seperti di jalan malioboro
dan jalan menteri supeno- adalah visualisasi kecil untuk membangkitkan cinta
pada kebudayaan tanah air. Terlebih alat musik perkusi yang kebanyakan
merupakan alat musik tradisional-seperti kendang, angklung, dan seruling-
dimainkan oleh anak-anak muda.
Selain
upaya di atas, tentu untuk menunjang konsep tersebut pemerintah bersama
masyarakat hendaknya bahu membahu mendirikan atau membangkitkan kembali sanggar-sanggar
kesenian tradisional yang seakan-akan “mati suri”, -walaupun dibeberapa
daerah sudah ada- seperti sanggar tari, musik tradisional dan lain-lain. Karena
kita telah hidup di zaman yag serba canggih dan modern, agar lebih menarik dan
banyak diminati, sanggar-sanggar traditional ini sebisa mungkin didesign lebih
artistik dan terlihat modern, jika perlu dilengkapi beberapa fasilitas yang
modern, semisal disediakan layar flat ukuran besar, adanya computer dan akses
internet. Tanpa merubah spirit dan cita rasa dari kesenian yang diajarkan,
adanya konsep sanggar tradisional semi-modern ini diharapkan dapat
diminati oleh masyarakat Indonesia yang mayoritas sudah terjangkit virus
globalisasi ini.
Upaya
lain yang nampaknya juga harus segera dilakukan adalah membangun beberapa
museum kebudayaan yang didalamnya menyimpan warna-warni kebudayaan Indonesia
yang bernuansa edukatif. Kecanggihan tekhnologi di era globalisasi ini juga
dapat dimanfaatkan sebagai ajang promosi bagi kebudayaan daerah, jika perlu
kebudayaan tanah air ini dapat go internasional.
Itulah
sekelumit fenomena tentang nasib budaya lokal kita di era globalisasi ini.
apakah akan terus eksis dan akan dinikmati oleh anak cucu kita di era
mendatang, ataukah akan hilang terkubur oleh arus globalisasi dunia, atau malah
ikut membaur dengan budaya globalisasi ini, sehingga substansi dan spirit dari
budaya kita menjadi abu-abu, abstrak dan kalah oleh dominasi budaya lain.
Akhirnya sketsa ini mengantarkan pada kita akan sebuah pertanyaan sekaligus
pilihan, untuk dijawab, direnungkan atau diabaikan.