Imam (Pemimpin) dalam al-Qur’an dan hadits
Oleh : Sukahar Ahmad Syafi’i

وَجَعَلْنَاهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا وَأَوْحَيْنَا إِلَيْهِمْ فِعْلَ الْخَيْرَاتِ وَإِقَامَ الصَّلاةِ وَإِيتَاءَ الزَّكَاةِ وَكَانُوا لَنَا عَابِدِينَ
Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin  yang memberi petunjuk dengan perintah Kami, dan telah Kami wahyukan kepada mereka  untuk senantiasa mengerjakan kebajikan, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan hanya kepada Kamilah mereka selalu mengabdi.(QS. Al-Anbiya’: 73)

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمْ اللَّهُ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ الْإِمَامُ الْعَادِلُ وَشَابٌّ نَشَأَ فِي عِبَادَةِ رَبِّهِ وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي الْمَسَاجِدِ وَرَجُلَانِ تَحَابَّا فِي اللَّهِ اجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ وَرَجُلٌ طَلَبَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ فَقَالَ إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ أَخْفَى حَتَّى لَا تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِينُهُ وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللَّهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ
Dari Abu Hurairah ra., dari Nabi Saw., beliau bersabda : “Ada tujuh golongan yang akan mendapat naungan Allah pada hari yang tiada naungan kecuali naungan-Nya, yaitu : Pemimpin yang adil, Pemuda yang senantiasa beribadah kepada Allah Ta’ala, Seseorang yang hatinya senantiasa digantungkan (dipertautkan)” dengan masjid, Dua orang saling mencintai karena Allah, yang keduanya berkumpul dan berpisah karena-Nya. Seorang laki-laki yang ketika diajak [dirayu] oleh seorang wanita bangsawan yang cantik lalu ia menjawab :”Sesungguhnya saya takut kepada Allah.”Seorang yang mengeluarkan sedekah sedang ia merahasiakannya, sampai-sampai tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diberikan oleh tangan kanannya dan seseorang yang mengingat Allah di tempat yang sepi sampai meneteskan air mata.”
Ayat dan hadits ini berbicara pada tataran ideal tentang sosok pemimpin yang akan memberikan dampak kebaikan dalam kehidupan rakyat secara keseluruhan, seperti yang ada pada diri para nabi manusia pilihan Allah. Karena secara korelatif, ayat-ayat sebelum dan sesudah ayat ini dalam konteks menggambarkan para nabi yang memberikan contoh keteladanan dalam membimbing umat ke jalan yang mensejahterakan umat lahir dan batin. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa ayat ini merupakan landasan prinsip dalam mencari figur pemimpin ideal yang akan memberi kebaikan dan keberkahan bagi bangsa dimanapun dan kapanpun.
Ayat yang berbicara tentang kriteria pemimpin yang ideal yang senada dengan ayat di atas adalah surah As-Sajdah: 24:
$oYù=yèy_ur öNåk÷]ÏB Zp£Jͬr& šcrßöku $tR͐öDr'Î/ $£Js9 (#rçŽy9|¹ ( (#qçR%Ÿ2ur $uZÏG»tƒ$t«Î/ tbqãZÏ%qムÇËÍÈ
 “Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah kami ketika mereka sabar dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami(QS. As-Sajdah: 24)
Kesabaran yang dimaksud dalam ayat ini yang menjadi pembeda dengan ayat Al-Anbiya’: 73 adalah kesabaran dalam menegakkan kebenaran dengan tetap komitmen menjalankan perintah dan meninggalkan larangan Allah. Tentu bagi seorang pejabat tinggi, tetap komitmen dengan kebenaran membutuhkan mujahadah dan kesabaran yang jauh lebih besar karena akan berhadapan dengan pihak yang justru menginginkan tersebarnya kebathilan dan kemaksiatan di tengah-tengah umat.
Menurut Ibnu Katsir dalam Tafsir Al-Qur’an Al-Adhim, ciri utama yang disebutkan di awal kedua ayat yang berbicara tentang kepemimpinan ideal adalah bahwa para pemimpin itu senantiasa mengajak rakyatnya kepada jalan Allah dan kemudian secara aplikatif mereka memberikan keteladanan dengan terlebih dahulu mencontohkan pengabdian dalam kehidupan sehari-hari yang dicerminkan dengan menegakkan shalat dan menunaikan zakat, sehingga mereka termasuk kelompok ‘abid’ yang senantiasa tunduk dan patuh mengabdi kepada Allah swt dengan merealisasikan ajaran-ajaranNya yang mensejahterakan.
Yang sangat menarik untuk dicermati secara redaksional adalah pilihan kata ‘aimmah’ dalam kedua ayat di atas. Kepemimpinan umumnya menggunakan terminologi khalifah atau Amir. Tentu pilihan kata tersebut bukan semata-mata untuk memenuhi aspek keindahan bahasa Al-Qur’an sebagai bagian dari kemu’jizatan al-qur’an, tetapi lebih dari itu merupakan sebuah isyarat tentang sosok pemimpin yang sesungguhnya diharapkan, yaitu sosok pemimpin dalam sebuah negara atau masyarakat yang idealnya juga layak menjadi pemimpin dalam kehidupan beragama bagi mereka. Mereka bukan hanya tampil di depan dalam urusan dunia, tetapi juga tampil di barisan terdepan dalam urusan agama. Inilah yang sering diistilahkan dengan agamawan yang negarawan atau negarawan yang agamawan.
Memang sejarah kesuksesan kepemimpinan terdahulu yang berdampak pada kebaikan dan kesejahteraan masyarakatnya seperti kepemimpinan di era Rasulullah dan para sahabatnya adalah bahwa pemimpin negara di masa itu juga sebagai pemimpin shalat. Tidak pernah terjadi, bahwa pemimpin Negara saat itu hanya memiliki kualifikasi kepemimpinan dalam memenej negara, tetapi juga dalam memelihara dan mempertahankan kehidupan beragama umat.  Karena urusan duniawi dan ukhrawi sesungguhnya merupakan satu kesatuan yang sinergis dalam totalitas ajaran Islam. Perhatian pemimpin yang parsial pada salah satu aspek tertentu menunjukkan minimnya atau ketidak mampuannya menjadi ‘imam’ seperti yang diisyaratkan oleh kedua ayat kunci di atas.
Disini, mencari sosok pemimpin ideal memang bukan pekerjaan mudah atau instan, tetapi merupakan kerja serius dan kontinyu dalam bingkai pembinaan yang berjalan baik, sehingga stok kepemimpinan tidak pernah langka atau tidak tersedia. Maka  aspek kepemimpinan sangat terkait erat dengan aspek pembinaan (kaderisasi) yang harus dikerjakan secar serius dan kontinyu.
Dibawah ini juga akan dijelaskan beberapa tafsir mengenai definisi imam (pemimpin) yang ideal :
تفسير ابن أبى حاتم (3/ 986)
"""" صفحة رقم 986 """"
5520 حدثنا أبي ، ثنا الحسن بن عطية ، ثنا حسن بن صالح ، عن اسماعيل بن أبي خالد ، عن مصعب بن سعد قال : قال علي : حق على الإمام ان يحكم بما انزل الله ، وان يؤدي الامانة ، فاذا فعل ذلك وجب على المسلمين ان يسمعوا له ويطيعوا ، وان يجيبوا إذا دعوا .
‘Ali ra berkata: “Seorang imam (pemimpin) wajib menghukumi dengan hukum Allah dan melaksanakan amanah. Jika imam melaksanakan hal tersebut maka wajib bagi umat Islam untuk mendengar dan mematuhinya, dan memenuhi panggilannya.( Tafsir Ibnu Abi Hatim:3: 986)
تفسير الطبري (8/ 490)
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا (58)
القول في تأويل قوله : { إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الأمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ }
9841 - حدثنا أبو كريب قال، حدثنا ابن إدريس قال، حدثنا إسماعيل، عن مصعب بن سعد قال، قال علي رضي الله عنه كلماتٍ أصاب فيهن:"حقٌّ على الإمام أن يحكم بما أنزل الله، وأن يؤدِّيَ الأمانة، وإذا فعل ذلك، فحقّ على الناس أن يسمعوا، وأن يُطيعوا، وأن يجيبوا إذا دُعوا". (2)
9842 - حدثنا أبو كريب قال، حدثنا جابر بن نوح قال، حدثنا إسماعيل عن مصعب بن سعد، عن علي بنحوه.
تفسير البغوي (2/ 240)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا (59)
وقال علي بن أبي طالب رضي الله عنه: حقٌّ على الإمام أن يحكم بما أنزل الله ويؤدي الأمانة فإذا فعل ذلك فحق علي الرعية أن يسمعوا ويطيعوا.
تفسير ابن المنذر (2/ 763)
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا (58)
قوله جَلَّ وَعَزَّ : {وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ}
1922 - حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَلِيٍّ، قَالَ: حَدَّثَنَا سَعِيدٌ، قَالَ: حَدَّثَنَا مَرْوَانُ بْنُ مُعَاوِيَةَ، قَالَ: حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ أَبِي خَالِدٍ، قَالَ: أَخْبَرَنَا مُصْعَبُ بْنُ سَعْدٍ، قَالَ: قَالَ عَلِيٌّ، رَضِيَ اللهُ عَنْهُ " كَلِمَاتٍ أَصَابَ فِيهِنَّ: حَقٌّ عَلَى الإِمَامِ أَنْ يَحْكُمَ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ، وَأَنْ يُؤَدِّي الأَمَانَةَ، فَإِذَا فَعَلَ ذَلِكَ، فَحَقَّ عَلَى النَّاسِ أَنْ يَسْمَعُوا لَهُ، وَأَنْ يُطِيعُوا، وَأَنْ يُجِيبُوا إِذَا دُعُوا "
مصنف ابن أبي شيبة - ترقيم عوامة (12/ 213)
33199- حَدَّثَنَا وَكِيعٌ ، قَالَ : حدَّثَنَا إسْمَاعِيلُ بْنُ أَبِي خَالِدٍ ، قَالَ : سَمِعْتُ مُصْعَبَ بْنَ سَعْدٍ يَقُولُ : قَالَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ : كَلِمَاتٌ أَصَابَ فِيهِنَّ : حَقٌّ عَلَى الإِمَامِ أَنْ يَحْكُمَ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَأَنْ يُؤَدِّيَ الأَمَانَةَ , فَإِذَا فَعَلَ ذَلِكَ كَانَ حَقًّا عَلَى الْمُسْلِمِينَ أَنْ يَسْمَعُوا وَيُطِيعُوا وَيُجِيبُوا إذَا دُعُوا.

0 komentar:

Posting Komentar