ENGKAULAH CANDLELIGHT-KU
Oleh : Sukahar
Ahmad Syafi’i
Tahukah engkau, siapa sebenarnya candlelight yang selalu
menerangi langkahmu, menjadi pelita dihatimu, dan penghapus lukamu
Tahukah engkau, siapa sebenarnya candlelight yang siap sedia
menemanimu, menghawatirkanmu, dan menyayangimu.
Tahukah engkau, siapa sebenarnya candlelight yang merelakan
engkau berada bersamanya selama 9 bulan, yang berjibaku, berjuang, bahkan rela
mengorbankan nyawa demi melihat engkau terlahir
di dunia
Ummi…
Ya, dialah Ummi, wanita penyabar, tegar, dan kuat
Seorang wanita yang kau sebut sebagai Candlelight
kehidupanmu.
Ummi, tak banyak ungkapan kata yang dapat aku ungkapkan dengan
jelas karena sesak di dada saat mengingat semua perjuanganmu, sungguh hebat
semua perjuanganmu untuk anakmu yang tak pernah mengerti ini.
Kasih sayangmu seluas samudra, setinggi gunung, sehangat matahari,
wajahmu seteduh bulan, dan hatimu sebening air samudra.
Aku memang tidak pandai berkata-kata, tidak pandai pula dalam
pelajaran, tapi aku mau berusaha dengan apa yang telah kau ajarkan
kepadaku, dengan apa yang telah Allah
berikan kepadaku, dan aku mau memberikan semua yang terbaik untukmu Ummi.
Sungguh Ummi, aku memang anak lelaki yang tak berguna. Tapi Ummi …
aku berjanji untuk menepati janjiku mewujudkan apa yang Ummi inginkan, aku mau
disisa umurmu aku bisa membahagiakanmu, menghapus lukamu dan membuat kau bangga
akan hasil karya anak lelakimu ini.
Aku mau Ummi, disisa umurmu nanti, aku bisa merawatmu,
membahagiakanmu, membuatmu tersenyum dan menjagamu selalu, seperti apa yang
telah ummi lakukan selama ini.
Bagaimana Ummi, engkau tak percaya? Baiklah Ummi, izinkanlah aku
bercerita
* *
*
Hari ini,
sedikit berbeda dengan hari-hari yang biasa aku lalui, entah karena suasana
hatiku yang sedang baik atau karena ada kabar gembira yang baru saja aku
dengar. Cukup lama aku terdiam memikirkan apa yang sedang terjadi.
Pada hari ini,
rasanya membuatku bingung bercampur senang, Hingga aku merasa sulit sekali
untuk mengungkapkannya.
Sudah hampir
lima tahun aku menanti hadirnya seseorang yang bisa mengisi kekosongan hidup
ini, membuat aku tertawa, tersenyum, serta membuat perjuangan hidup ini lebih
berarti.
Pasangan
suami-istri mana yang tidak sedih, jika selama masa pernikahan yang cukup tua
ini belum dikaruniai momongan yang kelak menjadi penerus dan pengasuhnya dikala
mereka sudah tua.
Aku tak bisa
membayangkan, bagaimana senangnya suamiku ketika mendengar berita bahwa saat
ini aku positif hamil dan mengandung darah dagingnya, pasti dia akan sangat
senang setelah penantian panjang ini.
Vonis dokter
lima tahun lalu bahwa aku mandul masih terngiang-ngiang dipikiranku,
bagaikan goresan luka yang tak akan pernah hilang. Tapi kabar bahwa aku positif
hamil hari ini memberikan secercah sinar harapan yang dapat menghapus kesedihan
dan kegelisahan yang tertanam dalam hati selama lima tahun ini. Antara yakin atau
tidak, percaya atau tidak, senang dan sedih, semua bercampur menjadi satu dalam
gemuruh hati ini, serasa mimpi tapi nyata, sungguh terheran aku dibuat.
Aku mencoba
membaca berulang-ulang lembaran kecil dari dokter, apakah aku memang
benar-benar hamil, ataukah ini hanya khayalanku saja yang tiba-tiba secara
spontan menguap di permukaan kesadaranku akibat penantian yang cukup lama ini.
Untuk yang kesekian kalinya aku membacanya hingga akhirnya aku merasa yakin dan
mantap bahwa aku positif hamil, tak terasa peluh membasahi pipiku dan dengan
spontan bibirku bergerak menyebut Alhamdulillah dan rasa syukur kepada
Allah berlipat-lipat yang telah mengabulkan do’a-do’aku selama ini.
* *
*
Dalam Waktu
yang sama. Di tempat lain.
“Assalamualaikum “, tiba-tiba sebuah suara muncul dari balik pintu
kantor, seketika itu juga buyarlah lamunanku.
“Wa’alaikumsalam, ya ada apa?” ucapku spontan
“ Ma’af Pak Aris, menganggu, barusan tadi Ibu telepon, katanya beliau
ingin berbicara dengan Anda, ada hal penting yang ingin disampaikan” Jawab
Farah, receptionis kantorku sopan.
“Oke, terimakasih farah, kalau gitu segera sambungkan aku dengan
nyonya”
“Baik, Pak” Jawab farah seraya melangkah meninggalkan ruang
kerjaku.
“Assalamualaikum, Abi, gimana kabarnya ? terdengar merdu
suara istriku dari telepon
“Wa’alaikumsalam, Alhamdulillah baik, Ummi bagaimana, baik-baik
saja kan ? tanyaku
“Alhamdulillah bi, lebih baik dan sangat baik dari hari biasanya “
Jawab istriku dengan hati yang berbunga-bunga
“Ada gerangan apa ummi, tumben kok telepon siang-siang begini ?
tanyaku penuh penasaran
“Ummi punya kabar gembira untuk abi dan keluarga kita”
“Iyakah ummi?, kabar apakah itu?, sehingga bisa membuat bidadariku
sebahagia ini” tanyaku gembira disertai rasa yang lagi-lagi penuh penasaran
“Aku positif hamil Abi”
Bagai orang yang selamat dari samberan petir aku mendengar berita
ini, antara senang bercampur tidak percaya.
“Benarkah itu ummi?” tanyaku kembali mamastikan
“Benar abi, itu hasil pemeriksaan dokter, awalnya ummi juga gak
percaya, tapi itulah hasilnya bi” jawab istriku menguatkan argumennya.
“Alhamdulillah kalau gitu, do’a-do’a kita akhirnya dikabulkan oleh
Allah”
“Alhamdulillah bi, Abi masih sibuk, kalau gak, cepat pulang ya bi”
suara istriku terdengar meminta dan berharap
“Sebenarnya ada sih miting, tapi tak apalah, abi akan segera
pulang, udah gak sabar ingin melihat keadaan umi sekarang”
“Ya sudah kalau gitu bi, sampai ketemu di Rumah ya, wassalamua’alaikum”
“Wa’alaikumsalam “ Jawabku sambil menutup telepon.
* * *
Kupandangi fotoku dan istriku lima tahun silam. Foto ini diambil
sebagai bukti bahwa kami telah menjadi sepasang kekasih yang halal dan resmi,
sepasang kekasih yang telah mengikrarkan hidupnya untuk kebahagiaan berdua,
sepasang kekasih yang rela hidup susah, bahkan mati asalkan dilalui
bersama-sama. Serasa lebay memang, tapi inilah janji yang telah kita ikrarkan
lima tahun silam.
Tak terasa peluh kebahagiaan ini menetes membasahi pipiku, sudah
sekian lama, aku menunggu seseorang yang bisa menjadi penerusku kelak, seseorang
yang kepadanya aku akan ajarkan arti sebuah kehidupan dan bagaimana cara
menjalaninya, baik dikala suka ataupun duka. Akhirnya pada hari ini Allah
menjawab do’a dan harapan itu, terimakasih Allah, engkau telah mengabulkan hal
yang benar-benar kami nantikan selama ini.
* * *
5 tahun kemudian
Tak terasa sudah lima tahun berlalu dari penantian panjang yang
berdurasi lima tahun pula. Berawal dari keinginan dan impian mempunyai
keturunan hingga vonis kemandulan yang menyiksa batinku sepanjang waktu. Tapi
aku bersyukur Allah telah menjawab kegelisahan dan kegundahanku dengan seorang
anak yang cerdas dan tampan seperti Ara, meski terkadang aku menyesal, kenapa
nasib anak ini tak seperti anak lain, kenapa anak ini harus menempuh hidup
dengan kasih sayang yang terbatas, terkadang aku hampir putus asa dan bertanya
pada diriku sendiri, apakah aku mampu membesarkan Ara seorang diri, ya… hanya
seorang diri…belum lagi aku sering dipusingkan dengan pertanyaan-pertanyaan
Ara. Umi.., Abi dimana, kenapa gak pulang-pulang, apakah Ara terlahir tanpa
Abi, umi ?, Ara ingin seperti teman-teman mi, punya Abi, jalan-jalan sama Abi
dan bermain bersama Abi” Pertanyaan itulah yang selalu teringiang-ngiang
dalam hatiku. Aku selalu terdiam ketika Ara mananyakan perilhal Abinya, sungguh
tak mampu lidah ini bergerak dan mengatakan hal yang sebenarnya, aku takut Ara
akan sedih, aku takut Ara akan membenciku karena dia lahir tanpa kehadiran
seorang Ayah. Sekali lagi Ara, ma’afkan Ummimu ini, tapi Ummi berjanji pada
sa’atnya nanti kamu pasti akan tahu hal yang sebenarnya terjadi.
* * *
Kejadian lima tahun silam tak pernah hilang dari pikiranku, bahkan
terasa masih sangat manyayat hati, tapi apa boleh buat itu adalah garis
kehidupan yang telah ditetapkan Allah untukku dan untuk anakku Ara…
Tiada yang menyangka buah hati yang dinanti-nantikan selama ini
ternyata lahir dalam keadaan yatim tak berbapak. Sungguh malang nasib Ara,
tabahkanlah hatimu Ara sampai tiba sa’atnya nanti engkau harus tahu yang
sebenarnya. Sekarang, Ummi hanya berharap engkau bisa menikmati masa kecilmu
yang penuh dengan keterbatasan ini.
* * *
7 tahun kemudian
Waktu benar-benar berputar dengan cepat, ibarat air terjun yang
alirannya tak dapat dibendung oleh siapa pun, apalagi menghentikannya.
Saat ini Ara telah berumur 12 tahun, bisa dibilang duduk dikelas 6
SD, semakin hari wajahnya semakin cerah, bahkan tak ada sedikitpun gurat
kesedihan yang menghiasi wajahnya, senyum manis di bibirnya selalu menghiasi
wajahnya yang polos, benar-benar anak yang luar biasa, dia bisa tumbuh dengan
kesederhanaan dan keterbatasan kasih sayang selama ini.
Memang aku sadari, semenjak suamiku meninggalkanku dan Ara untuk
selama-lamanya akibat kecelakaan maut yang menewaskan berpuluh-puluh orang pada
Nopember 12 tahun silam. Pasca kejadian tersebut kehidupan kami berubah
drastis, dari kehidupan kelas menengah atas berubah menjadi kehidupan yang
sederhana dan ala kadarnya, kekayaan yang kami miliki hanya mampu mencukupi 1
sampai 2 tahun pasca kelahiran Ara. Semenjak itu aku benar-benar harus banting
tulang merawat dan membesarkan Ara seorang diri, aku tidak ingin mengecewakan
pesan almarhum suamiku untuk tetap menjaga dan merawat buah hati yang selama
ini dinanti-nantikan, sekali lagi hatiku pilu jika mengingat kejadian itu.
Kuhapus air mata yang menetes dipipiku, berusaha untuk tetap tenang
dan tersenyum, karena inilah saatnya aku harus menceritakan perihal sebenarnya
mengenai Ayah Ara.
* * *
“Ara… kemari” suaraku
lantang memanggil Ara yang sedang asyik bermain di halaman Rumah
“Iya ummi…, ada apa ? “ teriak Ara seraya berlari menghampiriku
“Emang ummi mau bicara apa ?” Tanya Ara penuh penasaran
“Ada hal penting yang perlu ummi sampaikan kepadamu”
“Iya ummi, bicara aja, Ara siap mendengarkan”
“Ara…kamu sekarang sudah besar, sekarang umurmu sudah 12 tahun,
ummi yakin, kamu sudah bisa berpikir dewasa, walaupun masih dalam proses. Masih
ingatkah kamu Ara… perihal keberadaan Abimu yang selama ini ummi rahasiakan “ tanyaku
pada Ara seraya mengusap rambutnya
“Masih ummi, sampai sekarang Ara pun masih penasaran, apa
jangan-jangan Ara memang udah gak punya Abi lagi mi” Jawab Ara seraya
memandangku dengan pandangan penuh penasaran.
“Hmm… baiklah Ara, ummi akan menceritakan hal yang sebenarnya
tentang Abimu, tapi sebelumnya ummi minta ma’af karena selama ini ummi
merahasiakan hal tersebut, karena ummi ingin mencari waktu yang tepat untuk
mengatakannya, dan hari inilah waktu yang tepat untuk menceritakannya kepadamu
Ara…” ucapku sambil mendekap Ara erat-erat
“ Ara…kamu adalah satu-satunya buah hati yang ummi dan Abi
nanti-nantikan, sepanjang waktu ummi dan Abimu berdo’a agar dikarunia buah hati
yang dapat menambah kebahagiaan hidup kami berdua, akhirnya do’a-do’a kami
dijawab oleh Allah dengan keajaiban yang luar biasa, ketika ummi mengatakan
perihal kehamilan ummi pada Abimu, dia sempat tidak percaya, karena awalnya
ummi memang divonis mandul oleh dokter. Alangkah bahagianya Ara…, Abimu
mendengar bahwa ummi positif hamil, dia menjadi suami yang luar biasa bagi
ummi, selama masa mengandungmu, Abimu menunjukkan perhatian yang luar biasa,
jam kerja dia kurangi demi menemani ummi, dia tidak lagi mengambil jam lembur
kerja, rela tidak tidur demi menjaga ummi, menyiapkan segala keperluan ummi dan
semua hal yang berkaitan dan dirimu dan ummi, pada hari itu seakan-akan Abimu
tidak ingin pergi jauh meninggalkan dirimu dan ummi, tapi Ara…” Suaraku
lagi-lagi parau dan tak terasa air mata ini telah membanjiri pipiku
“Tapi apa ummi, ayo katakan, kenapa ummi menangis” Tanya Ara penuh
penasaran seraya memandangi wajahku yang basah oleh air mata
“Tapi Ara…. Musibah menimpa Abimu, dia meninggal ketika
melaksanakan tugas kantor, mobil yang ditumpangi Abimu ditabrak oleh sebuah
truck kontainer, dalam kecelakaan itu tak ada satu orang pun yang selamat,
termasuk Abimu Ara…” sambil sesenggukan aku mengatakannya dan tak terasa
tangisku malah semakin menjadi.
Sudahlah ummi, sekarang Ara sudah mengerti, ummi tenang aja ya,
hapus air mata ummi dan ikhlaskan kepergian Abi, supaya Abi tenang di alam
sana. Bagi Ara, ummi adalah orang tua yang paling hebat di dunia, karena ummi
bisa menjadi seorang ibu yang memberikan kasih sayang yang luar biasa pada
anaknya, ummi juga seperti seorang Ayah yang punya kebijaksanaan dalam
bertindak, sekali lagi, terima kasih ummi, engkau telah memberikan hal yang
terindah dan terbaik untuk anakmu ini” ucap Ara tersenyum dan mencoba menghapus
air mataku dengan tangan kecilnya.
“Terimakasih Allah, engkau telah menenangkan dan menghibur
kegelisahan dan pilunya hati ini dengan seorang anak yang sabar dan pengertian
seperti Ara…”lirihku dalam hati mencoba bersyukur atas semua kejadian ini.
*
* * *
Di sebuah ruangan serba putih berukuran 4 x 4 m2 terlihat seorang wanita paruh baya sedang
berbaring diranjangnya, selang-selang infus dan oksigen terlihat masih lekat
bersamanya. Di sampingya, terlihat seorang laki-laki muda berjas dan berdasi
sedang menungguinya, menggenggam tangannya. Terlihat selalu bercerita dan
sesekali membisikkan sesuatu ditelinga wanita paruh baya itu. Jika ditaksir
umur wanita itu sekitar 50 tahun dan laki-laki muda berjas itu sekitar 27
tahun. Mereka tampak seperti seorang ibu dan anaknya.
“ Gimana Ummi, apakah kau sudah percaya?”
Wanita paruh baya itu hanya mengangguk pelan. Ada sesuatu
yang mulai dia ingat
“Engkau tau
Ummi, siapa anak yang bernama Ara dalam cerita yang barusan aku ceritakan“
Wanita paruh baya itu hanya mengangguk pelan
Beberapa saat mereka terdiam, kemudian laki-laki muda berjas
itu kembali mengenggam tangan wanita paruh baya itu, mencium keningnya dan
membisikkan sesuatu yang lembut ditelinganya “Itu Ara ummi, Aku, anak semata
wayangmu, dan wanita dalam cerita itu adalah engkau ummi, satu-satunya wanita
terhebat dan orang yang paling berarti buatku”
Beberapa saat wanita paruh baya itu memegang lebih erat
tangan laki-laki muda berjas itu –seakan tidak mau melepasnya- dan
memandanginya dalam-dalam; Dia mulai teringat tentang kesedihan wanita dalam cerita
tersebut saat mendengar kabar bahwa dia mandul, dan betapa gembiranya bahwa
sebentar lagi dia akan memiliki seorang anak. Kesedihan yang dibalut
kegembiraan itu seakan pecah ketika ayah dari anak yang dikandungnya harus
pergi meninggalkannya untuk selama-lamanya. Hingga dia harus berjuang sendiri
membesarkan dan mendidik Ara anak semata wayangnya yang kini berdiri
dihadapannya.
Wanita paru baya ini mungkin tak akan sempat melihat anaknya
lagi dalam waktu lama. Tumor dan gegar otak yang dideritanya hampir
menghilangkan setengah dari ingatannya, tapi untunglah Allah masih mengizinkan
dia melihat anaknya kembali, dan masih mengizinkan dia untuk mengingat
masa-masa indah dan penuh kenangan dan perjuangan dengan anak semata wayangnya
itu.
“Ummi sudah ingat?” Alhamdulillah Ummi, peluk dan cium
laki-laki muda berjas itu pada wanita paruh baya. Tak terasa kesedihan dan
kegembiraan bercampur menjadi satu. Ya, melebur dalam satu kenangan indah yang
tak akan terlupakan. “Terima kasih Ummi atas apa yang engkau lakukan selama
ini, engkaulah candlelight
hidupku, aku mungkin tak
sempat membalas semua itu, tapi aku tetap berdo’a untuk kesembuhanmu dan engkau
harus kuat dan berjuang hingga akhir, Ummi, I Love You Candlelightku” lirihku dalam hati seraya
mencium kening ummi lalu pergi meninggalkannya.