DANA TALANGAN HAJI, PROBLEM DAN HUKUMNYA
Oleh : Mahasiswa Pendidikan Ulama’ Tarjih Muhammadiyah (PUTM)Putra
Yogyakarta
I.
PENDAHULUAN
Ibadah Haji adalah perjalanan rohani menuju
rahmat dan karunia Allah swt, ia merupakan salah satu dari kelima pilar penyangga
tegaknya agama islam di muka bumi yang disyariatkan oleh Allah swt kepada
hamba-hambanya. Kita sebagai umat islam tentu harus tetap menjaga supaya ibadah
haji ini menjadi pilar yang semakin memperkokoh pondasi islam, bukan
sebaliknya. Yaitu dengan cara mengamalkan sesuai dengan rukun, syarat, dan
ketentuan-ketentuan yang ada. Ibadah haji juga sebagai penyempurna dari Rukun
Islam. Bahkan as-Sayyid as-Sabiq mengatakan sekiranya ada orang yang
mengingkari kewajibannya maka sungguh dia telah kafir dan keluar dari agama
Islam (as-Sabiq: 2001: 460)
Allah
swt telah berfirman dalam Surat al-Baqarah ayat 196 :
وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ فَإِنْ أُحْصِرْتُمْ
فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ وَلَا تَحْلِقُوا رُءُوسَكُمْ حَتَّى يَبْلُغَ
الْهَدْيُ مَحِلَّهُ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ بِهِ أَذًى مِنْ
رَأْسِهِ فَفِدْيَةٌ مِنْ صِيَامٍ أَوْ صَدَقَةٍ أَوْ نُسُكٍ فَإِذَا أَمِنْتُمْ
فَمَنْ تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ
فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا
رَجَعْتُمْ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ ذَلِكَ لِمَنْ لَمْ يَكُنْ أَهْلُهُ
حَاضِرِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ
شَدِيدُ الْعِقَابِ.
Dan sempurnakanlah
ibadah haji dan 'umrah karena Allah. jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh
atau karena sakit), Maka (sembelihlah) korban yang mudah didapat, dan jangan
kamu mencukur kepalamu, sebelum korban sampai di tempat penyembelihannya. jika
ada di antaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), maka
wajiblah atasnya berfidyah, yaitu berpuasa atau bersedekah atau berkorban. Apabila
kamu telah (merasa) aman, maka bagi siapa yang ingin mengerjakan 'umrah sebelum
haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) korban yang mudah
didapat. tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), maka
wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu
telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna. Demikian itu
(kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada (di
sekitar) Masjidil Haram (orang-orang yang bukan penduduk kota Mekah). Dan
bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaan-Nya. (Q.S.
Al Baqarah (2): 196
Atas dasar inilah orang-orang Muslim berusaha untuk menunaikan
ibadah haji guna menyempurnakan rukun Islam yang kelima. Ibadah haji termasuk ibadah yang membutuhkan biaya
relatif tinggi, setidaknya untuk muslim Indonesia. Kurang lebih untuk saat ini
harta senilai tiga puluh juta harus dipersiapkan untuk pembiayaan ibadah haji.
Dana yang sebesar itu tentu bukanlah jumlah yang sedikit, sehingga tidak semua
orang bisa melaksanakannya, hanya orang-orang tertentu yang sudah dikatakan
berkemampuan, ironisnya pula bagi sebagian masyarakat
di Indonesia masih ada anggapan bahwa berhaji akan menaikan status sosial
seseorang. Faktor-faktor ini mendorong tingginya animo masyarakat untuk
berusaha melaksanakan ibadah haji dalam keadaan dan kondisi apapun tanpa
melihat lagi beberapa pertimbangan yang menjadi syarat wajib dan sahnya haji.
Dalam pada itu, perkembangan zaman yang menjalar ke seluruh lini
kehidupan, tak terkecuali dalam dunia perbankan syari’ah, membawa kemajuan yang
sangat signifikan. Sehingga menuntut para ekonom syari’ah untuk terus berpikir
kreatif dan inovatif dalam merespon kebutuhan masyarakat yang semakin kompleks.
Salah satu inovasi dunia perbankan syariah baru-baru ini adalah mengeluarkan
produk pembiayaan talangan haji yang bagi sebagian besar orang merupakan
terobosan positif yang menawarkan kemudahan untuk membantu masyarakat
muslim mewujudkan cita-cita mulianya dalam menegakkan salah satu pilar islam,
yaitu ibadah haji. Dalam perkembangannya, masyarakat
selama ini antusias dengan datangnya produk ini, bahkan secara nasional produk
ini mengalami peningkatan yang sangat signifikan.
Pembiayaan talangan haji sebagai hasil dari pemikiran dan peradaban
manusia tentu perlu kita kaji dengan seksama untuk kemudian kita sebagai umat Islam
bisa menentukan sikap terhadap keberadaan dana talangan haji.
Untuk dapat menyikapi dan menentukan
pilihan mengenai permasalahan tersebut, kami akan memaparkan secara singkat
mengenai dana talangan haji, baik secara teoritis maupun secara praktis.
II.
PENGERTIAN DAN
KEWAJIBAN HAJI
Secara lughawi, haji berarti menyengaja atau menuju
dan mengunjungi. Kata haji mempunyai arti qashd yaitu tujuan, maksud dan
menyengaja. Sedangkan menurut istilah syara’, haji ialah menuju ke Baitullah
dan tempat-tempat tertentu untuk melaksanakan amalan-amalan ibadah tertentu
pada waktu tertentu ( az-Zuhaily: 2006: 2064). Secara rinci as-Sayyid as-Sabiq mendefinisikan haji adalah menuju ke Makkah untuk melaksanakan ibadah
thawaf, sa’i, wukuf di arafah dan semua manasik haji guna mengharapkan ridha
Allah swt. (as-Sabiq: 2001:II: 460).
Wajibnya ibadah
haji merupakan perkara yang benar-benar telah diketahui dalam agama Islam (المعلوم من الدين بالضرورة) (Âlu Bassâm, 2002: II: 409) dan merupakan salah satu dari
rukun Islam yang lima (ash-Shanâniy, 2006: 189). Jika ada diantara umat Islam
yang mengingkari wajibnya haji, maka ia dihukumi murtad dari agama Islam (as-Sayyid
as-Sâbiq, 2001: 460).
Ibadah haji telah absah berdasarkan al-Qur’an, as-Sunnah, dan Ijma’
umat Islam (Âlu Bassâm, 2002: 409). Masing-masing dalil tersebut adalah sebagai
berikut.
1)
al-Qur’an
¨bÎ) tA¨rr& ;Møt/ yìÅÊãr Ĩ$¨Y=Ï9 Ï%©#s9 sp©3t6Î/ %Z.u$t7ãB Yèdur tûüÏJn=»yèù=Ïj9 ÇÒÏÈ ÏmÏù 7M»t#uä ×M»uZÉit/ ãP$s)¨B zOÏdºtö/Î) ( `tBur ¼ã&s#yzy tb%x. $YYÏB#uä 3 ¬!ur n?tã Ĩ$¨Z9$# kÏm ÏMøt7ø9$# Ç`tB tí$sÜtGó$# Ïmøs9Î) WxÎ6y 4 `tBur txÿx. ¨bÎ*sù ©!$# ;ÓÍ_xî Ç`tã tûüÏJn=»yèø9$# ÇÒÐÈ
“Sesungguhnya rumah (ibadah) pertama yang dibangun untuk
manusia, ialah (Baitullah) yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi
petunjuk bagi seluruh alam. Di sana terdapat tanda-tanda yang jelas, (di
antaranya) maqam Ibrâhim. Barang siapa memasukinya (Baitullah) amanlah dia. Dan
(diantara) kewajiban manusia terhadap Allah melaksanakan ibadah haji ke
Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana.
Barang siapa mengingkari (kewajiban) haji, maka ketahuilah banwa Allah Maha
Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam”. (Âli Imrân (3): 96-97)
Menurut Jumhur Ulama, inilah ayat yang menunjukkan
wajibnya haji (Ibnu Katsír, 2008: 348).
2)
as-Sunnah
إرواء الغليل (3/ 248)
كتاب الزكاة 781 - حديث " بني الإسلام على خمس : شهادة أن لا
إله إلا الله وأن محمدا رسول الله وإقام الصلاة وايتاء الزكاة وصوم رمضان وحج
البيت ) متفق عليه
“Islam dibangun atas lima perkara: Bersaksi bahwa
tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan
salat, menunaikan zakat, puasa ramadhan, dan berhaji ke baitullah”. (H.R.
Muttafaq ‘Alaih).
وعن أبي هريرة قال خطبنا رسول الله
صلى الله عليه وسلم فقال يا أيها الناس إن الله قد فرض عليكم الحج فحجوا فقال رجل
أكل عام يارسول الله فسكت حتى قالها ثلاثا فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم لو
قلت نعم لوجبت ولما استطعتم ثم قال ذروني ما تركتم رواه أحمد ومسلم والنسائي
Dari Abu Hurairah, ia berkata: “Rasulullah saw
berkhutbah kepada kami, lalu ia bersabda”: “Wahai umat manusia, sungguh Allah
telah mewajibkan haji kepada kalian, maka berhajilah”. Lalu ada seorang
laki-laki yang bertanya: “Apakah setiap tahun, wahai Rasulullah ?” Rasul diam
(belum menjawab) hingga laki-laki tersebut mengulangi pertanyaannya sebanyak
tiga kali. Setelah itu Rasulullah menjawab: “sekiranya aku berkata ‘ya’ maka ia
akan diwajibkan (setiap tahun) dan kalian pasti tidak mampu (melaksanakannya)”.
Kemudian Rasulullah saw bersabda: “Ambillah apa yang aku tinggalkan kepada
kalian”. (Diriwayatkan oleh
Ahmad, Muslim, dan an-Nasâi dan dishahihkan oleh al-Albâniy).
Dalam riwayat lain dikatakan
صحيح وضعيف سنن النسائي (1/ 55)
( سنن النسائي )
أخبرنا محمد بن يحيى بن عبد الله
النيسابوري قال حدثنا سعيد بن أبي مريم قال أنبأنا موسى بن سلمة قال حدثني عبد
الجليل بن حميد عن ابن شهاب عن أبي سنان الدؤلي عن ابن عباس أن رسول الله صلى الله
عليه وسلم قام فقال إن الله تعالى كتب عليكم الحج فقال الأقرع بن حابس التميمي كل
عام يا رسول الله فسكت فقال لو قلت نعم لوجبت ثم إذا لا تسمعون ولا تطيعون ولكنه
حجة واحدة .
تحقيق الألباني :
صحيح ، الإرواء ( 149 - 150 ) ،
صحيح أبي داود ( 1514 )
Dalil-dalil di atas secara jelas menggambarkan wajibnya
ibadah haji dan secara pasti telah menjadi kesepakatan umat Islam (Âlu Bassâm,
2008: 631)
Ibadah haji hanya diwajibkan sekali seumur hidup. Hal
ini telah disepakati, sebagaimana yang dikatakan oleh imam an-Nawawiy, al-Hâfidz,
dan ulama lainnya (asy-Syaukâniy, 1973: 3). Ini merupakan pendapat Jumhur
Ulama. Mereka beralasan bahwa di dalam ayat tersebut (Âli Imrân (3): 97) tidak
terdapat qarínah yang menunjukkan perintah untuk melakukan haji
berkali-kali (tikrâr) (ash-Shâbuniy, 2007: 296). Selain itu, secara
eksplisit, kedua hadits di atas menunjukkan haji hanya diwajibkan sekali.
Kaidah ushul fikih mengatakan :
لأن الأصل في الأمر للوجوب, فإن أريد به الندب
أوالإباحة فلا بد من قرينة تدل على ذلك…
… Karena hukum pokok dari perintah adalah wajib. Jika
yang dimaksud dari perintah tersebut adalah anjuran (an-nadb) atau kebolehan
(al-ibâhah), maka harus ada qarínah yang menunjukkan pada hal tersebut
(Ibnu Najâr, 1997: 19).
III.
SEPUTAR DANA
TALANGAN HAJI
A.
PENGERTIAN
Sebelum kita melangkah pada analisis
dan pengambilan hukum, maka sebaiknya kita mengetahui dana talangan haji itu sendiri.
Sebagaimana yang ditulis dalam website bank Syariah Mandiri, bahwa Pembiayaan
talangan haji adalah pinjaman (Qardh) dari bank Syariah kepada
nasabah untuk menutupi kekurangan dana guna memperoleh kursi (seat)
haji pada saat pelunasan BPIH (Biaya Perjalanan Ibadah Haji). Dana talangan ini
dijamin dengan deposit yang dimiliki nasabah. Nasabah kemudian wajib
mengembalikan sejumlah uang yang dipinjam itu dalam jangka waktu tertentu. Atas
jasa peminjaman dana talangan ini, bank Syariah memperoleh imbalan (fee/ujrah)
yang besarnya tak didasarkan pada jumlah dana yang dipinjamkan.
B.
DASAR HUKUM.
Pihak perbankan mendasarkan produk
ini kepada fatwa DSN (Dewan Syariah Nasional) MUI Nomor No. 29/DSN-MUI/VI/2002 tanggal 26 Juni 2002 tentang pembiayaan pengurusan haji oleh LKS (Lembaga
Keuangan Syariah). Di dalam fatwa tersebut DSN MUI mengemukakan
dalil-dalil umum mengenai kebolehan akad al-qardh dan al-ijārah sebagai
akad yang menjadi komponen produk ini.
Serta menyertakan ketentuan-ketentuan sebagai berikut
:
1.
Dalam
pengurusan haji bagi nasabah, LKS dapat memperoleh imbalan jasa (ujrah)
dengan menggunakan prinsip al-Ijarah sesuai Fatwa DSN-MUI
nomor 9/DSN-MUI/IV/2000.
2.
Apabila
diperlukan, LKS dapat membantu menalangi pembayaran BPIH nasabah dengan menggunakan
prinsip al-Qardh sesuai Fatwa DSN-MUI nomor
19/DSN-MUI/IV/2001.
3.
Jasa
pengurusan haji yang dilakukan LKS tidak boleh dipersyaratkan dengan pemberian
talangan haji.
4.
Besar
imbalan jasa al-Ijarah tidak boleh didasarkan pada jumlah
talangan al-Qardh yang diberikan LKS kepada nasabah (FATWA DEWAN
SYARI'AH NASIONAL NO: 29/DSN-MUI/VI/2002 Tentang PEMBIAYAAN PENGURUSAN HAJI
LEMBAGA KEUANGAN SYARI’AH)
Dibawah ini akan dijelaskan mengenai prinsip
dan ketentuan akad al-qard dan al-Ijarah :
a.
Prinsip
al-Qard
Ketentuan Umum al-Qardh
1.
Al-Qardh
adalah pinjaman yang diberikan kepada nasabah (muqtaridh) yang memerlukan.
2.
Nasabah
al-Qardh wajib mengembalikan jumlah pokok yang diterima pada waktu yang telah
disepakati bersama.
3.
Biaya
administrasi dibebankan kepada nasabah (FATWA DEWAN SYARI'AH NASIONAL NO: 19/DSN-MUI/IV/2001 Tentang AL-QARDH)
b.
Prinsip
Ijarah
1.
Rukun dan Syarat Ijarah:
1)
Sighat
Ijarah, yaitu ijab dan qabul berupa pernyataan dari kedua belah pihak yang
berakad (berkontrak), baik secara verbal atau dalam bentuk lain.
2)
Pihak-pihak
yang berakad: terdiri atas pemberi sewa/pemberi jasa dan penyewa/pengguna jasa.
3)
Obyek
akad ijarah adalah :
a.
manfaat
barang dan sewa; atau
b.
manfaat
jasa dan upah.
2)
Ketentuan Obyek Ijarah:
1.
Obyek
ijarah adalah manfaat dari penggunaan barang dan/atau jasa.
2.
Manfaat
barang atau jasa harus bisa dinilai dan dapat dilaksanakan dalam kontrak.
3.
Manfaat
barang atau jasa harus yang bersifat dibolehkan (tidak diharamkan).
4.
Kesanggupan
memenuhi manfaat harus nyata dan sesuai dengan syari’ah.
5.
Manfaat
harus dikenali secara spesifik sedemikian rupa untuk menghilangkan jahalah
(ketidaktahuan) yang akan mengakibatkan sengketa.
6.
Spesifikasi
manfaat harus dinyatakan dengan jelas, termasuk jangka waktunya. Bisa juga
dikenali dengan spesifikasi atau identifikasi fisik.
7.
Sewa
atau upah adalah sesuatu yang dijanjikan dan dibayar nasabah kepada LKS sebagai
pembayaran manfaat. Sesuatu yang dapat dijadikan harga dalam jual beli dapat
pula dijadikan sewa atau upah dalam ijarah.
8.
Pembayaran
sewa atau upah boleh berbentuk jasa (manfaat lain) dari jenis yang sama dengan
obyek kontrak.
9.
Kelenturan
(flexibility) dalam menentukan sewa atau upah dapat diwujudkan dalam ukuran
waktu, tempat dan jarak.
3)
Kewajiban LKS dan Nasabah dalam Pembiayaan Ijarah :
1.
Kewajiban
LKS sebagai pemberi manfaat barang atau jasa:
a)
Menyediakan
barang yang disewakan atau jasa yang diberikan
b)
Menanggung
biaya pemeliharaan barang.
c)
Menjamin
bila terdapat cacat pada barang yang disewakan.
2.
Kewajiban
nasabah sebagai penerima manfaat barang atau jasa:
a)
Membayar
sewa atau upah dan bertanggung jawab untuk menjaga keutuhan barang serta
menggunakannya sesuai kontrak.
b)
Menanggung
biaya pemeliharaan barang yang sifatnya ringan (tidak materiil).
c)
Jika
barang yang disewa rusak, bukan karena pelanggaran dari penggunaan yang
dibolehkan, juga bukan karena kelalaian pihak penerima manfaat dalam menjaganya,
ia tidak bertanggung jawab atas kerusakan tersebut (FATWA DSN MUI No.
09/DSN-MUI/IV/2000 Tentang PEMBIAYAAN IJARAH)
C.
AKAD AL-QARD DAN IJARAH
1.
AL-QARD
Al-Qardh secara
etimologis merupakan bentuk masdar dari قرض الشئ – يقرضه, yang berarti qata’a memutus. Dengan
demikian al-qardh adalah sesuatu
yang diberikan oleh pemilik untuk dibayar. (al-Bahuti : tt : 298) As-Sayyid as-Sabiq
mendefinisikan al-qardh sebagai berikut :
القرض هو المال الذي يعطيه المقرض للمقترض ليرد
مثله إليه عند قدرته إليه
“Harta yang diberikan seseorang pemberi hutang kepada orang yang dihutangi untuk kemudian dia memberikan
yang semisal/sepadan setelah mampu”.
(as-Sabiq : tt : XII : 166).
Pada
perkembangannya. Para Ulama’ memberikan defenisi al-Qardh dengan defenisi yang
berbeda :
Ulama
Hanafi menjelaskan bahwa al-Qardh adalah harta al-misliyat[1]
yang dipinjamkan dan kemudian dikembalikan dengan barang yang serupa.
Sehingga dalam al-Qardh ini disyaratkan harta tersebut berjenis misliyat,
dimana harta tersebut tidak memiliki perbedaan dalam hal nilainya (Ali Fikri:
tt: 344)
Imam
Malik juga memberikan defenisi yang
hampir sama, yaitu pembayaran seseorang kepada orang lain dengan benda yang
sama dengan harta yang diambilnya dengan ketentuan tidak boleh adanya tambahan
(bunga) pada bayaran asal dan harta yang menjadi bayaran tidak boleh berbeda
dalam hal nilainya.
Imam Syafi’i mendasari pengertian al-Qardh dengan firman Allah swt
`¨B #s Ï%©!$# ÞÚÌø)ã ©!$# $·Êös% $YZ|¡ym ¼çmxÿÏè»Òãsù ÿ¼ã&s! $]ù$yèôÊr& ZouÏW2 4 ª!$#ur âÙÎ6ø)t äÝ+Áö6tur Ïmøs9Î)ur cqãèy_öè? ÇËÍÎÈ
Artinya : Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah,
pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), Maka Allah akan
meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. dan
Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nya-lah kamu
dikembalikan (al-Baqarah: 245)
Berdasarkan
ayat diatas, imam syafi’i memberikan kriteria, bahwa al-Qardh disini adalah
pinjaman yang baik, sama dengan as-Salf[2],
yaitu kepemilikan terhadap suatu benda sebagai pinjaman untuk kemudian
dikembalikan dengan semisal harta tersebut berdasarkan kebiasaan pada masa itu[3]
(Ali Fikri: tt: 345)
Imam
Ahmad bin Hambal menerangkan bahwa. Al-Qardh merupakan salah satu jenis
pinjaman yang tidak ada bunga didalamnya dalam rangka membantu orang yang
meminjam untuk mengambil manfaat dari barang yang ia pinjam (Ali Fikri: tt:
346)
Dari
definisi di atas, jelaslah bahwa akad
qardh merupakan bentuk muamalah bercorak ta’awun (tolong menolong)
semata, dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan pihak lain yang kekurangan. Jadi
tidak ada imbalan tertentu yang dipersyaratkan.
2.
DASAR HUKUM QARDH
a).
al-Quran
مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا
حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً وَاللَّهُ يَقْبِضُ وَيَبْسُطُ
وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
“siapakah yang
mau member pinjaman kepada allah pinjaman yang baik (menafkahkan harta di jalan
allah), maka allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda
yang banyak.” (surat
al-baqarah : 245)
b).
hadits
Ibnu
Majah meriwayatkan hadits yang bersumber dari ibnu masud radhiyallahu ‘anh dari
nabi s.a.w., beliau bersabda :
ما من مسلم يقرض مسلما قرضا مرتين إلا كان
كصدقتها مرة
"tidakkah
seorang muslim memberi pinjaman kepada orang muslim yang lain dua kali
melainkan pinjaman itu (berkedudukan) seperti sedekah satu kali.” (riwayat ibnu majah) Dan masih banyak lagi dalil serupa, baik dari
al-quran maupun hadits.
3.
HUKUM QARDH
Hukum
qardh mengikuti hukum taklifi ; terkadang boleh terkadang makruh, wajib
dan haram semua itu sesuai dengan cara mempraktekkannya
karena hukum wasilah itu meliputi hukum tujuan.
Jika
orang yang berhutang adalah orang yang mendesak sedangkan orang yang dihutangi
orang kaya, maka orang kaya itu wajib memberi hutang. Jika pemberi hutang
mengetahui bahwa yang menghutang akan berbuat maksiat dengan barang yang
dihutangi, maka haram bagi si pemberi hutang untuk memberikan hutang dan lain sebagainya berdasarkan
kondisi-kondisi yang bisa merubah hukumnya. (Ath-Thayyar : 2009 : 157).
Ada
dua hal yang perlu diketahui menyangkut hukum al-qard dalam konteks pembahasan dana talangan haji yaitu syarat tempo dan tambahan dalam qard. Untuk
yang pertama pendapat yang shahih menyatakan kebolehan persyaratan tempo.
Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Malik, Ibnu Taimiyah, Ibnu al-Qayyim,
al-Utsaimin dan Shalih Fauzan (Ath-Thayyar, 2009 : 165-166).
Menyangkut
tambahan dalam qard, maka tergantung apakah penambahan tersebut dipersyaratkan
atau tidak. Jika penambahan tersebut disyaratkan, maka berdasarkan ijma ulama
hukumnya haram karena adanya riba terselubung. Praktek memberikan hutang untuk
mendapatkan manfaat juga termasuk yang diharamkan. Pengharaman ini berdasarkan
sabda Rasulullah saw:
حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ حَمْزَةَ ، أَنْبَأَنَا
سَوَّارُ بْنُ مُصْعَبٍ ، عَنْ عِمَارَةَ الْهَمْدَانِيِّ ، قَالَ : سَمِعْتُ عَلِيًّا
، يَقُولُ : قَالَ رَسُولُ الله صَلَّى الله عَلَيه وسَلَّم : كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً
فَهُوَ رِبًا
Artinya
: Telah menceritakan kepada kami Hafsh bin Hamzah, telah mencertiakan kepada
kami Syawar bin Mus’ab dari Imarah al-Hamdaniy, dia berkata : aku mendengar Ali
ra berkata, Rasulullah saw bersabda : setiap qard yang menarik manfaat adalah riba. (HR.
Baihaqi, Thabrani)
Jenis
penambahan yang kedua adalah penambahan yang diberikan ketika pembayaran dan
tidak dipersyaratkan. Tambahan seperti ini tidaklah diharamkan dan bahkan
temasuk perbuatan yang baik berdasarkan hadis Nabi yang diriwayatkan Muslim
(Ath-Thayyar : 2009 : 169).
4.
RUKUN DAN SYARAT
Dalam aqad
Qardh ini, terdapat ketentuan-ketentuan yang menjadi syarat:
1.
Syarat
aqidain (orang yang memberi pinjaman dan yang dipinjami), yaitu kedua
belah pihak adalah orang yang mampu mentasarufkan hartanya sendiri secara
mutlak dan bertanggung jawab atau dengan istilah ahliyatul at-Tabarru.
Juga kedua belah pihak melakukannya karena terpaksa
2.
Syarat
muqtarad (barang yang menjadi objek Qardh) adalah harus barang yang
bermanfaat dan dapat dipergunakan.
3.
Syarat
shighat, ijab qabul menunjukkan kesepakatan kedua belah pihak, dan Qardh tidak
boleh mendatangkan manfaat bagi muqridh (yang meminjami). Demikian juga shighat
tidak mensyaratkan Qardh bagi aqad lain (multi aqad) (Affandi : 2009 : 183)
5.
AL-IJARAH
Al-Ijarah
adalah bentuk musytaq (derivasi) dari al-ajru yaitu al-‘audu (pengganti).
Secara istilah adalah akad pengambilan manfaat dengan menggganti (as-Sabiq : tt
: 144)
Ulama
Hanafiyah menjelaskan bahwa al-Ijarah adalah aqad yang berakibat pemindahan
kepemilikan terhadap manfaat benda yang diketahui oleh pemilik barang dengan maksud mendapatkan imbalan lebih (sewa
menyewa). Sedangkan Ulama Malikiyah hanya menyamakan dengan al kiraa’[4]
(Ali Fikri: tt: 85).
Ulama
Syafi’iyah pun juga memberikan defenisi yang hampir sama, dengan kebolehan
adanya tambahan yang disepakati dalam aqad, sehingga bagi ulama Syafi’iyah ijab dan qabul sangatlah penting dan harus
memakai lafazh (Ali Fikri: tt: 87).
Sementara
Ulama Hambali, memberikan defenisi yang lebih terperinci dengan menyatakan
adanya kesepakatan waktu dalam aqad, dan tambahan dari sewa juga sesuatu yang
disepakati (Ali Fikri: tt:89 )
Landasan
Syari’ah transaksi al-Ijarah adalah :
1.
Al-Qur’an
أَهُمْ يَقْسِمُونَ رَحْمَةَ رَبِّكَ نَحْنُ
قَسَمْنَا بَيْنَهُم مَّعِيشَتَهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَرَفَعْنَا
بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِيَتَّخِذَ بَعْضُهُم بَعْضًا سُخْرِيًّا
وَرَحْمَتُ رَبِّكَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُونَ
“Apakah mereka
yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka
penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah meninggikan sebahagian
mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat
mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang
mereka kumpulkan” (Q.S. Az Zukhruf (43): 32).
فَإِنْ
أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ
“Jika mereka
telah menyusukan anakmu maka berilah upah mereka” (Q.S.
Ath-Thalaq (65): 6)
قَالَتْ
إِحْدَاهُمَا يَا أَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ
الْقَوِيُّ الْأَمِينُ
Salah seorang
dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang
bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil
untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya. (Q.S.
Al-Qashash (28): 26)
2.
Al-Hadits
وروى ابن ماجه أن النبى صلى الله عليه و سلم قال
: أعطوا الأجير أجره قبل أن يجف عرقه
Diriwayatkan oleh Ibnu Majah, bahwa Nabi saw
bersabda : “berikanlah upah pada buruh sebelum keringatnya kering”
وعن ابن عباس أن النبى صلى الله عليه و سلم قال
: احتجم وأعط الحجام أجره. (رواه البخارى و مسلم)
Dari Ibnu Abbas, Nabi saw bersabda : “berbekamlah
engkau, lalu berikanlah upah pada orang yang membekam”. ( HR. Bukhari
Muslim)
6.
SYARAT DAN
KETENTUAN IJARAH
Dalam aqad Ijarah, juga ditentukan beberapa syarat:
1.
Kedua
belah pihak telah mumayyiz, dan tidak ada paksaan ketika melakukan aqad
2.
Objek
sewa bisa diserah terimakan dengan ketentuan bahwa barang tersebut milik sah
orang yang menyewakan (mu'jir)
3.
Mempunyai
nilai manfaat menurut syara'
4.
Upah
diketahui kedua belah pihak
5.
Objek
Ijarah tidak cacat
6.
Objek
adalah sesuatu yang dihalalkan syara'
7.
Objek
bukan kewajiban penyewa, misalnya menyewa orang untuk melakukan shalat
8.
Syarat
ijab qabul sama dengan syarat aqad muawwadat lainnya seperti jual beli, kecuali
dalam Ijarah disyaratkan adanya waktu tertentu yang ditentukan (Affandi, 2009 :
183).
Dari
penjelasan diatas dapat kita simpulkan bahwa akad al-Qardh dan al-Ijarah adalah
akad yang diperbolehkan oleh syari’at Islam, tetapi yang jadi masalah disini
adalah jika kedua akad itu digabungkan menjadi satu yaitu akad al-Qard wal
Ijarah yang digunakan oleh Lembaga Keuangan Syari’ah (LKS) sebagai dasar
legalitas Dana Talangan Haji yang merupakan salah satu produk mereka.
IV.
PERMASALAHAN
YANG MUNCUL
A.
Mengenai Akad
Berdasarkan
pengumuman Dewan Pengawas Syariah (DPS) Indonesia bahwa semua lembaga keuangan
syariah melakukan praktek pembiayaan talangan haji sesuai dengan fatwa MUI yang
telah kami paparkan di atas. Namun pada prakteknya, bank-bank memilki ketentuan
yang berbeda-beda, utamanya dalam hal akad.
Hasil wawancara
kami pada empat bank yang berbeda pada tanggal 15 Februari 2012, yaitu BSM
(Bank Syariah Mandiri), BRI Syariah, BPD Syariah, dan Bank Muamalat, diperoleh
informasi adanya praktek talangan haji sebagai berikut :
1.
BPD
Syariah melaksanakan program talangan haji dengan akad Multi ijarah semata.
Dalam prakteknya pelunasan dilakukan dengan dana angsuran perbulan. Bank
tersebut membatasi masa pelunasan sampai 4 tahun dengan ketentuan marginnya 7,2
%. Artinya pembayaran harus lunas sebelum berangkat haji, jika si peminjam
tidak bisa melunasinya tepat sesuai dengan waktu yang telah disepakati, maka
kursi (seat) akan dibatalkan dan uang pinjaman akan dikembalikan pada bank,
sedangkan angsuran akan dikembalikan kepada nasabah dipotong biaya administrasi
yang dibayarkan dimuka sebesar Rp 250.000. (hasil wawancara pada BPD Syari’ah
Jln. Cik Ditiro dengan costumer service saudari Rini)
2.
Bank
Muamalat Indonesia, melaksanakan program talangan haji dengan akad qardh, namun
sebagai administrasi memakai aqad ijarah. Batas pembayaran selama satu tahun,
tanpa adanya tambahan dari jumlah pokok pinjaman. Sesuai dengan aqad qardh yang
dipakai, jika tidak bisa melunasi tepat pada waktunya, maka akan diberi waktu
maksimal 6 bulan. Jika dalam masa tambahan tersebut belum juga bisa melunasi,
maka dana talangan akan ditarik, kursi akan dibatalkan dan angsuran nasabah
dikembalikan dipotong biaya adminsitrasi yang dibayar dimuka sebesar Rp
2.500.000. (hasil wawancara pada Bank Muammalat jln. Mangkubumi dengan costumer
service saudari Gita)
3.
Bank
Syariah Mandiri, pembiayaan talangan haji yang dilakukan menggunakan akad
al-qardh wa al-ijarah mengacu pada fatwa MUI di atas. Ketentuannya yaitu dengan
membayar ujrah dimuka sebesar Rp 2.000.000. Masa pelunasan maksimal 3 tahun,
dengan tambahan waktu 6 bulan jika dalam masa 3 tahun tersebut belum bisa
melunasi. Pelunasan tidak menggunakan system angsuran per bulan, dalam artian
tidak ada jumlah tertentu yang harus dibayarkan per bulannya. Peminjam
diberikan kebebasan membayar berapapun, yang penting ketika jatuh tempo sudah
lunas. Uang pinjaman yang nantinya dikembalikan hanyalah jumlah pokok pinjaman,
tanpa ada tambahan.
4.
Bank
Rakyat Indonesia Syari’ah, sebatas informasi yang kami terima dari costumer
service bank tersebut, menunjukkan bahwa ketentuan pembiayaan talangan haji
hampir sama dengan BSM yaitu dengan akad al-qardh wa al-ijarah. Perbedaannya
hanya pada ketentuan teknis talangan haji dan besar talangan yang diberikan
pada nasabah, misalnya untuk jangka waktu pengembalian pinjaman pada BSM jangka
waktunya 3 tahun sedangkan untuk BRI Syari’ah 5 tahun dan untuk besar talangan
haji pada BSM sebesar 5 – 25juta sedangkan pada BRI Syari’ah 10-23juta.
Hasil
wawancara ini menunjukan bahwa bank
melaksanakan program talangan haji dengan beberapa akad,
diantaranya : al-qardh, al-ijarah multi jasa, dan al-qardh wal ijarah.
Berangkat dari praktek akad talangan haji ini, kami akan mencoba untuk
menganalisisnya.
1.
Al-qardh wa
al-ijarah
Pada umumnya mereka yang
mengharamkan praktik ini berargumen bahwa dalam praktik semacam ini ada unsur
riba terselubung yaitu uang sewa (ujrah)
yang diterima oleh kreditur. Mereka juga berdalih bahwa menggabungkan dua akad
dalam satu transaksi itu tidak diperbolehkan dalam syari’ah. Namun jika kita
kembali cermati contoh transaksi di atas maka sama sekali tidak terkandung adanya
unsur riba. Contoh di atas jelas menunjukkan bahwa akad qardh dalam transaksi
tersebut tidak mensyaratkan imbalan tambahan, nasabah hanya mengembalikan
jumlah pokok pinjaman yang ia terima. Sedangkan biaya administrasi/ujrah yang
dibebankan kepada nasabah hanyalah imbalan atas jasa pengurusan haji,
sebagaimana diketahui bahwa al-ijarah ada dua jenis; yaitu ijarah al-maal (sewa
barang) dan ijarah al-‘amal (sewa jasa). Jadi secara akad, baik qardh maupun
ijarah dalam praktik ini tidak ada masalah, karena sudah sesuai dengan prinsip
qardh dan ijarah di atas.
Dari sini kemudian muncul persoalan baru, bukankah yang demikian
berarti menggabungkan dua akad dalam satu transaksi atau yang sekarang lebih
populer dengan istilah hybrid contract (multi akad) ?. Memang
ada yang menyanggah bahwa ini bukanlah menggabungkan dua akad, dengan beralasan
bahwa dua akad tersebut adalah untuk dua jenis obyek yang berbeda, yaitu uang
dan jasa. Pertama, akad al-qard (pinjaman) dengan obyek uang, di sini nasabah
hanya mengembalikan sejumlah yang dipinjam. Kedua, akad ijarah al `amal (sewa
jasa), yaitu jasa pengurusan haji. Namun menurut penulis, argument tersebut
tidak bisa menunjukkan bahwa praktik ini bukanlah menggabungkan dua akad.
Karena yang dimaksud dengan menggabungkan dua akad adalah menggabungkan dua
akad dalam satu transaksi. Jadi, meskipun dengan dua objek yang berbeda,
praktik ini tetap dikatakan menggabungkan dua akad. Karena masih dalam lingkup
satu transaksi pembiayaan talangan haji.
Karenanya,
penulis akan membahas tentang bagaimana pendapat di kalangan para ulama’
tentang multi akad ini.
Ada
tiga buah hadits Nabi Saw yang menunjukkan larangan penggunaan hybrid contract. Ketiga hadits itu
berisi tiga larangan :
Pertama,
larangan bay’ dan
salaf, (Imam Malik:tt: II:657).
ان
رسول
الله
صلى
الله
عليه
و
سلم
نهى
عن
بيع
وسلف
Kedua, larangan bai’ataini fi bai’atin (at-Tirmidzi: 1999: III:
533).
عن
أبي
هريرة
قال
: نهى
رسول
الله
صلى
الله
عليه
و
سلم
عن
بيعتين
في
بيعة
Ketiga,
larangan shafqataini fi shafqatin (al-Bashri: 1998: V: 384)
نَهَى
رَسُولُ
اللهِ
صَلَّى
اللَّهُ
عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ
عَنْ
صَفْقَتَيْنِ
فِي
صَفْقَةٍ
Ketiga hadits itulah yang selalu dijadikan rujukan para konsultan
dan banker syariah tentang larangan two in
one. Namun harus dicatat, larangan itu hanya berlaku kepada dua
kasus, karena maksud hadits kedua dan ketiga sama, walaupun redaksinya berbeda.
Buku-buku
teks fikih muamalah kontemporer, menyebut istilah hybrid contract dengan istilah yang
beragam, seperti al-’uqûd al-murakkabah, al-’uqûd al-muta’addidah , al-’uqûd al-mutaqâbilah,al-’uqûd al-mujtami’ah,
dan al-’Ukud al-Mukhtalitah, Namun istilah yang paling
populer ada dua macam , yaitu al-ukud al-murakkabah dan al-ukud al mujtami’ah.
Al-“Imrani
dalam buku Al-Ukud
al-Maliyah al-Murakkabah mendefinisikan hybrid contract yaitu “Kesepakatan dua pihak untuk
melaksanakan suatu akad yang mengandung dua akad atau lebih –seperti jual beli
dengan sewa menyewa, hibah, wakalah, qardh, muzara’ah, sahraf (penukaran mata
uang), syirkah, mudharabah … dst.– sehingga semua akibat hukum akad-akad yang
terhimpun tersebut, serta semua hak dan kewajiban yang ditimbulkannya dipandang
sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan, sebagaimana akibat
hukum dari satu akad.”
Ada beberapa
pandangan di kalangan ulama’ mengenai multi akad :
1.
Mayoritas
ulama Hanafiyah, sebagian pendapat ulama Malikiyah, ulama Syafi’iyah, dan
Hanbali berpendapat bahwa hukum hybrid
contract adalah
sah dan diperbolehkan menurut syariat Islam. Ulama yang membolehkan beralasan
bahwa hukum asal dari akad adalah boleh dan sah, tidak diharamkan dan
dibatalkan selama tidak ada dalil hukum yang mengharamkan atau membatalkannya
(al-‘Imrani: tt: 69) Kecuali menggabungkan dua akad yang menimbulkan riba atau
menyerupai riba, seperti menggabungkan qardh dengan akad yang lain, karena
adanya larangan hadits me\nggabungkan jual beli dan qardh. Demikian pula
menggabungkan jual beli cicilan dan jual beli cash dalam satu transaksi.
2.
Menurut
Ibn Taimiyah, hukum asal dari segala muamalat di dunia adalah boleh kecuali
yang diharamkan Allah dan Rasulnya, tiada yang haram kecuali yang diharamkan
Allah, dan tidak ada agama kecuali yang disyariatkan(Ibnu Taimiyah: 1989: II:
317)
3.
Nazih Hammad dalam buku al-’Uqûd al-Murakkabah fi al-Fiqh al-Islâmy menuliskan, ”Hukum dasar
dalam syara’ adalah bolehnya melakukan transaksi hybrid contract , selama setiap akad yang membangunnya
ketika dilakukan sendiri-sendiri hukumnya boleh dan tidak ada dalil yang
melarangnya. Ketika ada dalil yang melarang, maka dalil itu tidak diberlakukan
secara umum, tetapi mengecualikan pada kasus yang diharamkan menurut dalil itu.
Karena itu, kasus itu dikatakan sebagai pengecualian atas kaidah umum yang
berlaku yaitu mengenai kebebasan melakukan akad dan menjalankan perjanjian yang
telah disepakati.
4.
Demikian
pula dengan Ibn al-Qayyim, ia berpendapat bahwa hukum asal dari akad dan syarat
adalah sah, kecuali yang dibatalkan atau dilarang oleh agama (al-Qayyim: tt:
344)
Al-Syâtiby
menjelaskan perbedaan antara hukum asal dari ibadat dan muamalat. Menurutnya,
hukum asal dari ibadat adalah melaksanakan (ta’abbud) apa yang diperintahkan
dan tidak melakukan penafsiran hukum. Sedangkan hukum asal dari muamalat
adalah mendasarkan substansinya bukan terletak pada praktiknya (iltifât
ila ma’âny). Dalam hal ibadah tidak bisa dilakukan penemuan atau
perubahan atas apa yang telah ditentukan, sementara dalam bidang muamalat
terbuka lebar kesempatan untuk melakukan perubahan dan penemuan yang baru,
karena prinsip dasarnya adalah diperbolehkan (al-idzn) bukan melaksanakan (ta’abbud)
(asy-Syatibi: 2000: 284)
Dari
pandangan ulama-ulama di atas, dapat diketahui bahwa multi aqad pada dasarnya
dibolehkan karena penggabungan akad pada masa sekarang merupakan sebuah
kensicayaan. Akan tetapi, yang harus diperhatikan bahwa penggabungan aqad
tersebut tidak menimbulkan riba.
Kemudian,
jika kita melihat aqad yang digabungkan dalam praktek talangan haji adalah aqad
tabarru’at yaitu qardh dan aqad muawwadat yaitu ijarah. Kedua
jenis aqad ini memiliki orientasi yang sangat berbeda. Aqad tabarru’at
merupakan aqad sosial, tidak bertujuan untuk mencari keuntungan. Sementara aqad
mu’awwadat merupakan aqad komersil, aqad yang digunakan untuk mendapatkan
keuntungan. Jika keduanya digabungkan maka berpotensi menimbulkan riba karena
merusak masing-masing tujuan dari kedua aqad tersebut.
Sehingga penggabungan
dua aqad dalam dana talangan haji ini, sudah masuk dalam wilayah pelarangan
hadits Nabi saw, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Ibnu Taimiyah:
فَجِمَاعُ مَعْنَى الْحَدِيثِ أَنْ لَا يُجْمَعَ بَيْنَ مُعَاوَضَةٍ
وَتَبَرُّعٍ ؛ لِأَنَّ ذَلِكَ التَّبَرُّعَ إنَّمَا كَانَ لِأَجْلِ الْمُعَاوَضَةِ
لَا تَبَرُّعًا مُطْلَقًا ؛ فَيَصِيرُ جُزْءًا مِنْ الْعِوَضِ فَإِذَا اتَّفَقَا
عَلَى أَنَّهُ لَيْسَ بِعِوَضٍ جَمَعَا بَيْنَ أَمْرَيْنِ مُتَبَايِنَيْنِ ؛
فَإِنَّ مَنْ أَقْرَضَ رَجُلًا أَلْفَ دِرْهَمٍ وَبَاعَهُ سِلْعَةً تُسَاوِي خَمْسَمِائَةٍ
بِأَلْفٍ لَمْ يَرْضَ بِالْإِقْرَاضِ إلَّا بِالثَّمَنِ الزَّائِدِ لِلسِّلْعَةِ ؛
وَالْمُشْتَرِي لَمْ يَرْضَ بِبَدَلِ ذَلِكَ الثَّمَنِ الزَّائِدِ إلَّا لِأَجْلِ
الْأَلْفِ الَّتِي اقْتَرَضَهَا ؛ فَلَا هَذَا بَيْعًا بِأَلْفٍ وَلَا هَذَا
قَرْضًا مَحْضًا
“Kesimpulan
dari hadits ini menegaskan bahwa : Tidak dibenarkan menggabungkan antara aqad
komersial dengan aqad sosial. Yang demikian itu karena keduanya(orang yang
beraqad) menjalin aqad sosial karena adanya aqad komersial antara mereka.
Dengan demikian aqad sosial itu tidak sepenuhnya sosial. bahkan aqad sosial
secara tidak langsung menjadi bagian dari nilai transaksi dalam aqad
komersial." (Ibnu
Taimiyah, 1987 : 39).
Dari kesimpulan yang ditetapkan oleh ibnu Taimiyah, kita dapat
mengetahui bahwa yang menjadi Illat larangan Rasulullah menggabungkan
dua aqad, ialah adanya perbedaan asas aqad tersebut yaitu asas komersial dan
asas sosial. Hal ini disebabkan karena penggabungan itu menyebabkan motif
sosialnya tidak murni lagi tapi menjadi mencari keuntungan, dan keuntungan
itulah yang rentan menjadi riba’, sehingga selama illat ini ada maka hukum
hadits diatas bisa diterapkan bagi aqad yang lain, semisal penggabungan aqad
Qardh dan Ijarah dalam praktek talangan haji, hal ini berdasarkan kaidah ushul
fiqih:
األحكم
يدو ر مع علته وجودا وعدما
“Hukum itu berlaku berdasarkan ada tidak
adanya illat”
2.
Al-Qardh Semata
Sesuai
yang telah kami jelaskan pada hukum al-qardh, bahwa al-qardh mengikuti hukum
taklifi yang bisa berubah, mulai dari dianjurkan hingga dilarang. Perubahan
tersebut didasarkan pada praktek aqad yang dilakukan. Pada Bank Muamalat yang
mendasarkan aqadnya dengan al-qardh ternyata pada prakteknya masih
menggabungkan aqad al-qardh dengan ijarah meskipun tidak dipaparkan secara
tertulis. Hal ini dibuktikan dari hasil wawancara kami, bahwa Bank Muamalat
Indonesia masih menarik biaya administrasi sebesar 2,5 juta sebagai jasa kepengurusan haji tanpa
memperinci biaya administrasinya. Bahkan costumer service bank tersebut
memberikan keterangan bahwa administrasi ini didasarkan pada aqad ijarah. Oleh
karena itu, meski secara tertulis aqadnya al-qardh tapi pada prakteknya masih
menggabungkan dengan aqad ijarah, sedangkan penggabungan dua aqad ini tidak
diperbolehkan sebagaimana yang kami paparkan diatas.
3.
Ijarah (multi
jasa)
Pada
bank yang menggunakan aqad ini, seperti BPD Syari’ah, sebenarnya tidak murni
ijarah. Karena bank tersebut tetap meminjamkan uang kepada nasabah dengan
adanya tambahan (margin sebesar 7,2 persen). Bank tersebut tidak mengakui bahwa
pinjaman tersebut sebagai al-Qardh tetapi sebagai jasa bantuan bagi orang yang
ingin melaksanakan ibadah haji agar mendapatkan seat (kursi) lebih cepat.
Sepintas praktek seperti ini tidak ada masalah, apalagi dengan niat membantu
orang, tetapi menurut penulis praktek seperti ini tidak dibenarkan karena pada
dasarnya jasa uang dalam konteks ini harusnya memakai prinsip al-Qardh sebab
bertujuan untuk membantu orang lain (aqad sosial/muawwad)
yang tidak boleh menetapkan biaya tambahan. Jika terdapat biaya tambahan maka
akan menimbulkan larangan sesuai qaidah fiqh yang disampaikan Ibnu
Qudamah di dalam al-Mughni:
كل قرض شرط فيه أن يزيده فهو حرم بغير خلاف
“Setiap pinjaman yang mensyaratkan tambahan hukumnya haram tanpa ada
perbedaan pendapat”. (Qudamah tt : 432 ).
B.
Mengenai ke-Istitho’an seseorang
Dalil yang menjadi dasar hukum
kewajiban ibadah haji adalah surat ali imran ayat 97 :
فِيهِ
آيَاتٌ بَيِّنَاتٌ مَقَامُ إِبْرَاهِيمَ وَمَنْ دَخَلَهُ كَانَ آمِنًا وَلِلَّهِ
عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا وَمَنْ كَفَرَ
فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ
“padanya
terdapat tanda-tanda yang nyata, (diantaranya) maqam Ibrahim, barang siapa
memasukinya (baitullah itu) menjadi amanlah dia. Mengerjakan haji adalah
kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan
perjalanan ke Baitullah, barang siapa mengingkari (kewajiban haji) maka
sesungguhnya Allah maha kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.”
Ayat diatas dalam ilmu ushul fiqh
termasuk dalam pembahasan takhsis, yaitu mengecualikan sebagian dari lafadz
umum. Pada mulanya dalam ayat tersebut disebutkan bahwa haji diwajibkan bagi
seluruh umat islam, tapi di akhir lafadz ada pengecualian dengan bentuk badal مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا, yakni bagi yang sudah mampu. Dari sinilah kemudian muncul
pendapat-pendapat dalam memahami maksud istitha’ah dalam ayat tersebut.
Dimaksudkan
dengan ististha’ah dalam firman-Nya “man istathaa’a ilaihi sabiilan”
ialah mempunyai bekal dan mampu dalam perjalanan, sebagaimana disebutkan dalam
suatu hadis;
عَنْ
أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قِيْلَ يَا رَسُوْلَ اللهِ مَا السَّبِيْلُ ؟
قَالَ : الزَّادُ و الرَّاحِلَةُ . ( رواه الدار قطني و صححه الحاكم، الصنعاني 2:
179)
“Dari Anas r.a. ia berkata: Rasululullah SAW
ditanya; ‘Hai Rasulullah, apakah yang dimaksudkan dengan as-sabil (jalan)?’
Beliau menjawab; ‘bekal dan perjalanan’.” (Ditakhrijkan oleh ad-Daruqutniy, dan dinilai
sahih oleh al-Hakim; as-San’aniy, 1960, Subulus Salam, II : 179).
Dari
hadis tersebut jumhur ‘ulama berpendapat, bahwa yang dimaksudkan dengan ‘istitha’ah’
ialah mampu dalam perjalanan dan perbelanjaan, atau bekal. Uang belanja cukup
bagi dirinya dan bagi keluarga yang ditinggalkan, aman dalam perjalanan, dan
dirinya dalam keadaan sehat. (as-San’aniy, 1960: II : 179).
Hadits
tersebut juga diriwayatkan oleh al-Hakim, dan beliau juga mensahihkannya
(Asy-Syaukani, Nailul Authar, Juz V:13). Dijelaskan pula bahwa yang
dimaksud dengan bekal oleh kebanyakan ulama adalah bekal untuk dirinya dan
keluarganya sampai ia pulang dari tanah suci (menunaikan ibadah haji).
Ibnu
zubair, atha, ikrimah dan malik berpendapat bahwa al istitha’ah adalah
kesehatan, bukan yg lainnya
Selain pendapat-pendapat di atas, kiranya kita pun
perlu menyimak perkataan imam Al-Jashāsh. Beliau menjelaskan “makna isthithā’ah
tidak hanya terbatas pada bekal dan kendaraan. Sebab, seseorang yang sedang
sakit keras, orang tua yang tidak mampu lagi menempuh perjalanan (الشيخ لا يثبت علعى الراحلة), az-zamin, dan semua orang yang kesulitan melakukan
ibadah haji haji termasuk dalam kategori orang yang tidak mempunyai isthithā’ah,
meskipun ia memiliki bekal dan kendaraan”. Sehingga, bekal dan kendaraan
bukan merupakan syarat mutlak tanpa mempertimbangkan hal-hal lainnya.
Mengenai
makna Istithā’ah ini para pengikut madzhab yang empat juga berpendapat :
Hanafiyah
berpendapat bahwa Istithā’ah itu ada tiga, yaitu memiliki badan (tubuh)
yang sehat, memiliki bekal dan biaya perjalanan, dan memiliki jaminan keamanan
(az-Zuhaily: 2006: 2082).
Malikiyah
berpendapat bahwa Istithā’ah adalah memungkinkannya seseorang sampai di
Makkah, baik dengan berjalan atau dengan berkendara. Pengikut Imam Malik
(Malikiyah) juga mensyaratkan Istithā’ah dengan terpenuhinya tiga hal,
yaitu memiliki badan yang kuat, adanya bekal yang dimampui oleh seseorang, dan
banyaknya jalan yang bisa dilalui untuk pergi ke Makkah, baik melalui darat,
laut maupun udara (az-Zuhaily: 2006: III: 2050).
Mengenai
Istithā’ah ini Syafi’iyah sependapat dengan Malikiyah, yaitu memiliki
badan yang mampu (sehat), memiliki harta, baik bekal dan biaya perjalanan, dan
adanya kendaraan untuk melakukan perjalanan (az-Zuhaily: 2006: III: 2087)
Hanabilah
(pengikut Imam Ahmad ibn Hambal) berpendapat bahwa Istithā’ah itu hanya
disyaratkan memiliki bekal dan biaya
perjalanan (az-Zuhaily: 2006: III: 2089)
Dari semua pendapat di atas, maka
dapat kita rangkum makna istitha’ah ke dalam 3 cakupan makna :
Pertama, Kesehatan jasmani, berdasarkan hadits Abdullah Ibnu Abbas r.a :
أﻥَّ
ﺍﻣْﺮَﺃَﺓً ﻣِﻦْ ﺧَﺜْﻌَﻢَ ﻗَﺎﻟَﺖْ:ﻳَﺎﺭَﺳُﻮْﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ ﺇِﻥَّ ﺃَﺑِﻲ ﺃَﺩْﺭَﻛَﺘْﻪُ
ﻓَﺮِﻳْﻀَﺔُ ﺍﻟْﺤَﺞِّ ﺷَﻴْﺨًﺎ ﻛَﺒِﻴْﺮًﺍ ﻻَ ﻳَﺴْﺘَﻄِﻴْﻊُ ﺃَﻥْ ﻳَﺴْﺘَﻮِﻯَ ﻋَﻠَﻰ
ﺍﻟﺮَّﺍﺣِﻠَﺔِ ﺃَﻓَﺄَﺣُﺞُّ ﻋَﻨْﻪُ؟ ﻗَﺎﻝَ:ﺣُﺠِّﻰ ﻋَﻨْﻪُ
“Bahwasanya seorang
wanita dari Khats’am berkata: ‘Wahai Rasulullah ,
sesungguhnya ayahku telah diwajibkan untuk melaksanakan ibadah haji disaat dia telah tua renta, dia tidak
mampu untuk tetap bertahan diatas kendaraan, apakah aku melaksanakan haji untuk
mewakilinya? “ (al-Baihaqy: 1991: VII: 14)
Kedua, Memiliki bekal yang cukup untuk pergi dan kembali, serta mencukupi
segala hajat atau kebutuhanya dan kebutuhan orang-orang yang menjadi
tanggungjawabnya dalam hal nafkah. Hal ini berdasarkan hadits nabi saw :
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو ، أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : " كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا
أَنْ يُضَيِّعَ مَنْ يَقُوتُ "
"Dari Abdullah bin Umar, Nabi
saw bersabda : Cukuplah dosa bagi seseorang (tatkala) dia menyia-nyiakan
orang-orang yang menjadi tanggungjawabnya" ( Abu Dawud: ttb: II: 59).
Ketiga, Keamanan dalam perjalanan, hal ini disebabkan karena mewajibkan
ibadah haji yang tidak disertai dengan jaminan keamanan selama perjalanan
merupakan sesuatu yang berbahaya (dharar), padahal menurut ketentuan
syari’at bahwa الضرر يزال (sesuatu yang berbahaya harus dihindari). Jika ketiga syarat diatas telah terpenuhi maka
telah wajib bagi seseorang untuk melaksanakan ibadah haji bagi laki-laki maupun
perempuan.
Mengingat
bahwa haji sebagai sebuah kewajiban (rukun Islam yang kelima), maka hendaknya
setiap orang Islam yang diberi keluasan rizki bercita-cita dan berusaha untuk
dapat menunaikan ibadah haji dengan terlebih dahulu berupaya untuk dapat
memiliki bekalnya sebagai sarana dapat dilakukan ibadah haji itu. Dalam qaidah
ushuliyah ditegaskan:
لِلوَسَائِلِ حُكْمُ اْلمَقَاصِدِ
Artinya
: “Hukum bagi sarana sama dengan hukum tujuannya.”
Dalam
kaitannya dengan pelaksanaan ibadah haji dapat dikatakan bahwa bagi orang Islam
yang diberi keluasan rizki wajib untuk berusaha agar memiliki bekal guna dapat
menunaikan ibadah haji. Oleh karena itu, menabung dan mengikrarkan untuk biaya
perjalanan ibadah haji (BPIH), merupakan perbuatan bijak dan terpuji.
Penabungnya dapat dikatakan sebagai hamba Allah yang sungguh-sungguh berupaya
untuk dapat melaksanakan ibadah haji. Uang tabungan haji ini hendaknya dijaga
sedemikian rupa agar tidak digunakan untuk keperluan lain, sehingga maksud dari
menabung dapat menjadi kenyataan. Lalu bagaimana dengan orang yang tidak
memiliki tabungan tapi berkeinginan menunaikan ibadah haji. Dari sinilah muncul
salah satu produk Lembaga Keuangan Syariah yang disebut dengan Dana Talangan
Haji guna membantu mereka yang berkeinginan menunaikan ibadah haji tapi
mempunyai kendala keuangan. Sepintas tujuan dari adanya dana talangan haji ini
baik, tapi ternyata dengan adanya program tersebut menimbulkan banyak
permasalahan, baik dari tinjauan status hukum dan manfaatnya secara syar’i.
untuk lebih rincinya akan dibahas dalam pembahasan mengenai manfaat dan
mudharat program dana talangan haji pada penjelasan dibawah ini.
C. Manfaat dan mudharat dari program dana talangan
haji
Tidak bisa
dipungkiri bahwa sebuah produk tentu memiliki sisi positif dan negatif. Manfaat
utama dari produk ini adalah memberikan bantuan kepada masyarakat untuk
melaksanakan salah rukun Islam yakni berhaji ke Baitullah. Sehingga ia bisa
saja dianggap sebagai bagian dari fath al-dzari’ah. Di samping itu
produk ini memiliki peminat yang cukup banyak sehingga berpotensi memajukan
Lembaga Keuangan Syari’ah sebagai instrument ekonomi umat Islam.
Namun demikian
ada banyak mudarat yang timbul dari praktek dana talangan haji ini, baik
ditinjau dari aspek syariah yakni keabsahan akadnya yang sangat riskan
menjatuhkan kepada riba tersembunyi, karena dalam akad ini terjadi penggabungan
antara akad al-qardh dan al-ijarah dengan mensyaratkan adanya tambahan imbalan
sebagai jasa, bahkan tambahan tersebut besarnya tergantung pada masa pinjaman
(Riba an-Nasi’ah), sebagaimana firman Allah swt :
úïÏ%©!$# tbqè=à2ù't (#4qt/Ìh9$# w tbqãBqà)t wÎ) $yJx. ãPqà)t Ï%©!$# çmäܬ6ytFt ß`»sÜø¤±9$# z`ÏB Äb§yJø9$# 4 y7Ï9ºs öNßg¯Rr'Î/ (#þqä9$s% $yJ¯RÎ) ßìøt7ø9$# ã@÷WÏB (#4qt/Ìh9$# 3 ¨@ymr&ur ª!$# yìøt7ø9$# tP§ymur (#4qt/Ìh9$# 4 `yJsù ¼çnuä!%y` ×psàÏãöqtB `ÏiB ¾ÏmÎn/§ 4ygtFR$$sù ¼ã&s#sù $tB y#n=y ÿ¼çnãøBr&ur n<Î) «!$# ( ïÆtBur y$tã y7Í´¯»s9'ré'sù Ü=»ysô¹r& Í$¨Z9$# ( öNèd $pkÏù crà$Î#»yz ÇËÐÎÈ
“Orang-orang
yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya
orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. keadaan mereka
yang demikian itu, adalah disebabkan mereka Berkata (berpendapat), Sesungguhnya
jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah Telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba. orang-orang yang Telah sampai kepadanya larangan dari
Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang Telah
diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada
Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah
penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya” (al-Baqarah : 275 ).
Juga hadist :
حدثنا
عبد الله بن سعيد . حدثنا عبد الله بن إدريس عن أبي معشر عن سعيد المقبري عن أبي
هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : ( الربا سبعون حوبا . أيسرها أن
ينكح الرجل أمه )
“Menceritakan
kepada kami Abdullah bin Sa’id, menceritakan kepada kami Abdullah bin Idris
dari Abi Ma’syar dari Sa’id al-Muqbiri dari Abi Hurairah berkata. bersabda
Rasulullah saw: “Riba ada tujuh puluh dosa, yang paling ringan adalah (sama
dengan) dosa orang yang berzina dengan ibunya.” ( HR. Ibnu
Majah)
عن
جابر رضي الله عنه قال " لعن رسول الله صلى الله عليه وسلم آكل الربا ومؤكله
وكاتبه وشاهديه وقال هم سواء" رواه مسلم
“ Dari Jabir Radliyallaahu
‘anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam melaknat pemakan riba,
pemberi makan riba, penulisnya, dan dua orang saksinya. Beliau bersabda:
“Mereka itu sama.” ( HR. Muslim, Subulus Salam, Juz 3,
hal. 36)
Hal ini tidak diperbolehkan, karena selain hukum dari
riba itu sendiri haram juga setiap qardh (pinjaman) yang mensyaratkan tambahan
termasuk riba, meski besarnya tak didasarkan pada jumlah dana yang dipinjamkan.
Jika dilihat dari aspek sosial, sebuah media lokal yakni Kabar Cirebon pada
hari Rabu, 05 Oktober 2011 menurunkan berita berjudul “Dana Talangan Haji Harus
Dihentikan”, yang intinya menyatakan bahwa adanya dana talangan haji
menyebabkan berbondong-bondongnya masyarakat untuk mendaftarkan diri guna
mendapatkan seat haji dengan bantuan dari dana talangan haji meskipun
sebenarnya mereka belum sanggup membayarnya. Hal ini menyebabkan membengkaknya
peserta tunggu sehingga banyak orang yang sebenarnya sudah mampu namun
“diserobot” antriannya oleh mereka yang memakai jasa talangan haji dan
antriannya mundur bahkan sampai tahun 2017. Jika berita itu dimuat pada tahun
2011, maka kita dapat membayangkan apa yang terjadi jika produk ini tetap dijalankan
oleh LKS pada tahun-tahun yang akan
datang. Di media lain yakni situs Media Islam (www.media-islam.or.id) ada
pengunjung situs tersebut yang mengeluhkan tentang orang tuanya yang tidak
mendapatkan lagi jatah seat hingga bertahun-tahun yang akan datang
padahal orang tuanya itu sudah tergolong mampu, penyebabnya adalah membludaknya
pendaftar sebab banyak orang yang memakai dana talangan haji. Kedua fakta ini
bisa saja merupakan fenomena gunung es, yang muncul dipermukaan hanya beberapa
kasus padahal di lapangan hal ini telah terjadi cukup banyak. Dalam ushul fikih kita mengenal kaidah yang berbunyi ;
درأالمفاسد مقدم على جلب المصالح
Artinya : menolak kemudaratan lebih diutamakan dari pada mencari
kemaslahatan.
V.
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Dana
talangan haji dibolehkan oleh DSN atas dasar kebolehan akad qardh dan ijarah
yang menjadi komponen akadnya.
2. Status
akad gabungan qardh dan ijarah dalam produk ini sangat rentan terjatuh pada
praktek riba terselubung. Padahal riba sangat dicela oleh agama, atau
setidaknya masih berupa hal syubhat yang diperintahkan oleh Rasulullah
untuk dijauhi dalam sabdanya :
حدّثنا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللّهِ بْنِ
نُمَيْرٍ الْهَمْدَانِيُّ : حَدَّثَنَا أَبِي: حَدَّثَنَا زَكَرِيَّاءُ عَنِ الشَّعْبِيِّ
عَنِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ ، قَالَ: سَمِعْتُهُ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللّهِ
يَقُولُ: وَأَهْوَى النُّعْمَانُ بِإِصْبَعَيْهِ إلَىٰ أُذُنَيْهِ «إنَّ الْحَلاَلَ
بَيِّنٌ وَإنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ
كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ، فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ،
وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ،
Artinya : Sesungguhnya perkara yang halal telah
jelas dan yang harampun telah jelas.
Diantara keduanya terdapat perkara-perkara mutasyabihat yang tidak diketahui
sebagian besar manusia. Maka barang siapa yang berhati-hati terhadap
perkara-perkara mutasyabihat maka ia sugguh telah menjaga agama serta
kehormatannya. Dan barang siapa yang terjatuh ke dalam perkara yang syubhat,
maka ia telah terjatuh ke dalam hal yang haram. (HR. Muslim).
3.
Jika melihat pengertian isthita'ah yang merupakan
syarat kewajiban haji, sebenarnya orang yang memakai jasa talangan haji belum
bisa dikatakan memenuhi syarat tersebut, sehingga ia belum dikenai kewajiban
berhaji. Justru jika ia memaksakan diri dengan berhutang kepada LKS, maka ada
kemungkinan ia akan menyusahkan dirinya sendiri padahal Allah sendiri
memberikan beban (taklif) kepada hamba-Nya sesuai kesanggupan hamba
tersebut, Allah swt berfirman :
لَا
يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
Artinya : “Allah tidak membebani seseorang
kecuali yang sesuai kemampuannya” (Al-Baqarah : 268).
4.
Meskipun
memiliki manfaat bagi sebagian umat Islam, dana talangan haji ternyata
mengandung mudarat yang tidak sedikit, baik ditinjau dari aspek syar’i maupun
dari aspek kemaslahatan sosial. Maka dalam keadaan seperti ini mencegah
kemudaratan harus diutamakan dari pada mendatangkan kemanfaatan sesuai dengan
kaidah :
دراالمفاسد مقدم على جلب
المصالح
Artinya
: menolak kemudaratan lebih diutamakan dari pada mencari kemaslahatan.
5.
Lebih jauh lagi,
dengan memakai metode sadd al-dzari’ah dana talangan haji sangat mungkin diharamkan
untuk mencegah kemudaratan yang dikandungnya.
6.
Jika kita
menerima argument mereka yang membolehkannya, tetap saja pendapat ulama-ulama
yang melarang praktek ini tidak bisa diabaikan, sehingga dapat dikatakan bahwa
telah terjadi ikhtilaf seputar hukum talangan haji ini. Maka yang perlu
dilakukan adalah mecari khuruj (jalan keluar) dari perselisihan ini,
sesuai kaidah :
الخروج
من الخلاف مستحب
Artinya
: keluar dari suatu perselisihan pendapat itu disukai.
7.
Jika ada
pendapat yang membolehkan namun yang lain mengharamkan, maka jalan keluar yang
paling aman dan menentramkan adalah mengikuti pendapat yang melarangnya. Dalam
kitab al-Asybah wa an-Nazhair al-Sayuti
menyebutkan sebuah kaidah fikih :
إذا
اجتمع الحلال و الحرام غلب الحرام
Artinya
: jika berkumpul haram dan halal, maka keharaman dimenangkan.(al-Sayuti,
1983 : 209).
As-Sayuti
juga menukil perkataan para Imam :
قال
الأئمة : و إنما كان التحريم أحب لأن فيه ترك مباح لاجتناب محرم و ذلك أولى من
عكسه
Artinya
: para Imam berkata : mengharamkan lebih disukai dari membolehkan,
karena pada pengharaman kita meninggalkan yang mubah untuk menjauhi yang haram
dan itu lebih utama daripada melakukan hal yang sebaliknya. (al-Sayuti,
1983 : 209).
8.
Bagi umat Islam untuk
memenuhi perintah Allah swt kepada kita yakni melaksanakan ibadah haji, selain
dana talangan haji ini kita masih bisa menabung untuk haji. Dengan cara seperti
itu hati lebih tentram dan ketika melaksanakannya, juga kita memang telah termasuk hamba-Nya yang mampu.
VI.
PENUTUP
Demikianlah
paparan singkat seputar permasalahan dana talangan haji yang akhir-akhir ini
sedang menjadi trend dan marak dilakukan oleh banyak kalangan. Dari pemaparan
diatas kami berpendapat bahwa dana talangan haji tidak boleh digunakan karena
beberapa pertimbangan yang telah dipaparkan diatas.
Dalam penyusunan makalah ini tentunya ada
banyak kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu saran dan kritik dari para
pembaca, ustadz dan para guru sangat diperlukan guna membantu memperbaiki dan
memperkaya khazanah keilmuan dalam studi ini.
DAFTAR PUSTAKA
----------, 2002, Taisîr
al-‘Allâm Syarh ‘Umdah al-Ahkâm, Iskandaria: Dâr al-Aqîdah.
------------,
2003, al-dur al-mantsur fi al-tafsir bi al-ma’tsur, Darul Hijr, Mesir
‘Imrâni al, tt, Al-’uqûd al-Mâliyah al-Murakkabah, ttb
Abdurrahman,Asjmuni, 1976, Qaedah-qaedah Fiqh (Qawa’idul Fiqhiyah),
Bulan Bintang, Jakarta
Al-Qur’an dan Terjemahnya, Departemen Agama, Thn 2002.
Âlu
Bassâm, ‘Abdullah bin ‘Abd ar-Rahmân, 2008, Taudlîh al-Ahkâm Min Bulûgh
al-Marâm, kairo: Jannah al-Afkâr al-Qâhirah.
Ash-Shâbuniy,
Muhammad ‘Ali, 2007, Rawâ’I al-Bayân Tafsîr âyât al-Ahkâm, Kairo: Dâr
Ash-Shâbuniy.
Ash-Shan’âniy, 2006, Subul as-Salâm, Lebanon:
Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
As-Syaukani,
2000, Nailul Author, Lebanon : Darul Hadits: Beirut
Bahri al, 1998, Musnad al-Bazzar,ttb
Fikri. Ali, tt, Al-Muāmalah al-Madiyah al- adabiyah, Al-Mathbah al-Musthafa al-Bany ,
Mesir
Gufron A. Mas’adi, 2002, Fiqh Muamalah Kontekstual, cet.1,
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Ibn al-Qayyim,tt, I’lâm
al-Muwaqqi’în, ttb
Ibn Taimiyah, 1989, Jâmi’
al-Rasâil, ttb
Ibnu Katsir, 2008, Tafsîr Ibnu Katsîr, Beirut:
Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Ibnu Najâr, 1997, Syarh al-Kaukab al-Munîr, (Al-Maktabah
Asy-Syâmilah)
Ibnu Taimiyah, Taqy al-Din, 1987, al-Fatawa al-Kubra, Dar
al-Kutub al-Ilmiyah : Beirut
Malik, 2005, al-Muwatto’,Dar al-Ghad al-Jadid: Kairo
Munawir, A.W,
1997, Kamus al-Munawir, Pustaka Progresif: Surabaya
Sâbiq, As-Sayyid, 2001, Fiqh As-Sunnah, Kairo: Dâr
al-Fath li ‘Ilâm al-‘Arabiy.
Sayuthi al, 1983, al-asybah wa al-nadhoir, dar al-kutub
al-ilmiyyah, Lebanon
Syâtiby al, 2000, al-Muwâfaqât
fii Ushul asy-Syari’ah, Darul Fikr: Damaskus
Tanya jawab
Agama PP Tarjih Muhammadiyah, 2003, Suara Muhammadiyah, Yogyakarta
Tirmidzi at, 1999, Sunan at-Tirmidzi, Dar Ihya al-Turots
al-‘arabi: Mesir
Zuhaily,
Wahbah, 2006, Fiqh Islam wa adillatuhu, Darul Fikr: Damaskus
[1] harta
yang mempunyai persamaan atau padanan dengan tidak mempertimbangkan adanya perbedaan antara satu dengan lainnya dalam kesatuan jenisnya Biasanya
berupa harta benda yang dapat
ditimbang, ditakar, diukur atau
dihitung kuantitasnya.
[2]
Pinjaman tanpa bunga
[3]
Jika pada masa sekarang, maka seseorang bisa membayar suatu benda dengan
memakai uang.
[4]
Sewa menyewa